“…oleh kuasa
Roh Kudus…aku telah memberitakan sepenuhnya Injil Kristus.
…di mana nama
Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang
telah diletakkan orang lain, tetapi sesuai dengan yang ada tertulis:
‘Mereka, yang
belum pernah menerima berita tentang Dia, akan melihat Dia,
dan mereka,
yang tidak pernah mendengarnya, akan mengertinya’. ”
(Roma 15:19-21)
Pengantar
Semua orang Kristen pasti
menyetujui bahwa Paulus adalah rasul yang memberitakan Injil tentang Yesus
Kristus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Melalui surat-suratnya, lebih khusus
surat kepada jemaat di Roma, ia mengemukakan pandangan teologisnya tentang misi
yang berawal dari kasih karunia Allah kepada bangsa Israel, yang kemudian
berlanjut kepada bangsa-bangsa di luar Israel. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila ia disebut sebagai teolog Kristen yang pertama sekaligus
misionaris Kristen pertama.
Memang tidak mudah untuk meneliti
perpektif misi Paulus, sebab sekurang-kurangnya ada tujuh surat yang harus
dipelajari untuk mencari tahu maksud Paulus tentang misi, khususnya perspektif
misi kepada bangsa-bangsa di luar Yahudi. Yang unik dari Paulus adalah
kejeniusannya dalam memahami Perjanjian Lama untuk melaksanakan misi kepada
bangsa-bangsa.
Tulisan ini dimulai dengan pengantar untuk mengarahkan pembaca pada
cakupan studi khusus ini. Kemudian dilanjutkan dengan ulasan ringkas peristiwa
pemanggilannya menjadi rasul, lalu perspektifnya tentang misi kepada
bangsa-bangsa dengan bertolak dari pemahamannya tentang Perjanjian Lama.
Bahasan berikut tentunya berkaitan dengan makna perspektif teologi misi Paulus
bagi jemaat masa kini. Konteks yang diambil adalah jemaat Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) “Betlehem” Maoti. Setelah pembahasan ini, maka tulisan
ini akan diakhiri dengan penutup.
A. Paulus Dan Pemanggilannya Menjadi Rasul
Paulus adalah seorang Yahudi. Sehubungan dengan hal ini ia mengatakan,
“…disunat pada hari kedelapan, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang
pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi” (Flp. 3:4-5). Ini menjelaskan
bahwa ia adalah seorang Yahudi yang sangat fanatik. Bahkan sebelum memberitakan
Injil, ia adalah seorang murid dari Gamaliel, rabi Farisi yang kesohor (Kis.
22:3), dan dengan demikian ia mempersiapkan
diri untuk menjadi seorang rabi Yahudi golongan Farisi.
Kefanatikannya sebagai seorang Yahudi yang legalis itulah yang
menyebabkan pada awalnya ia menganiaya jemaat Tuhan (Kis. 8:3). Akan tetapi
peristiwa dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9:1-19) membuat ia berubah total:
dari seorang Yahudi golongan Farisi yang paling fanatik dan berusaha untuk
membunuh orang Kristen menjadi rasul Kristus yang memberitakan Injil kepada
bangsa-bangsa lain. Sehubungan dengan perubahan Paulus ini, tafsir tradisional
menyebutnya bertobat (conversion). Ia dipandang telah berbalik dari
seorang Yahudi legalis menjadi seorang pengikut dan pendekar Kristus yang
membangun jemaat yang tadinya ia hendak binasakan.
Sehubungan dengan hal ini, Sugirtharajah memberikan pendapat yang sangat
baik dalam konteks pluralitas agama. Ia mengatakan bahwa yang terjadi dalam
diri Paulus adalah metamorfosis, transformasi. Istilah ini yang juga
digunakan dalam ajakannya kepada jemaat di Roma “…berubahlah oleh pembaharuan
budimu…” (Rm. 12:2); atau istilah symmorphosis, “menjadi serupa dengan”.
Perubahan dalam diri Paulus adalah suatu transformasi di mana ia menjadi serupa
dengan Kristus (Flp. 3:10, Rm. 8:29).
Yang menyebabkan transformasi Paulus adalah “penyataan Yesus Kristus”
(Gal. 1:12). Sambil mengartikan Ièsou Christou sebagai genetivus
subjectivus, menurut Sugirtharajah, Yesus Kristus menyatakan Allah sebagai
berbelas kasih. Kalau orang Farisi melihat Allah sebagai Yang Kudus, yang
mendorong Israel untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa yang najis, maka
Yesus kembali menyatakan Allah sebagai “Penyayang dan Pengasih.” Hal ini yang
juga mendorong Yesus kemudian Paulus untuk menerima sesama, khususnya yang
disingkirkan. Jadi, karena penyataan Yesus Kristus, Paulus mengalami suatu transformasi
dari Yudaisme yang eksklusif menjadi seorang Yahudi yang inklusif. Inilah yang
mendorongnya untuk menerima bangsa-bangsa lain dalam umat Allah yang baru. Ini
pula yang menggeser pandangan misi sentripetal (bangsa-bangsa datang kepada
orang Yahudi) kepada pandangan misi sentrifugal (orang Yahudi yang datang
kepada bangsa-bangsa).
B. Paulus: Antara Yahudi dan Non-Yahudi
1. Pandangan Paulus Tentang Taurat
Pandangan Paulus tentang Taurat dapat dikatakan rumit. Di satu pihak ia
memuji Taurat; akan tetapi pada pihak lain ia tampak mengutuknya. Baginya,
Taurat adalah “hukum Allah” (Rm. 7:22). Ia juga mengatakan bahwa “hukum Taurat
adalah kudus” (Rm. 7:12), “hukum Taurat itu baik” (Rm. 7:16). Di antara
anugerah-anugerah yang diterima oleh orang Israel juga disebut hukum Taurat
(Rm. 9:4).
Namun demikian Paulus
mengatakan, “dosa tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (Rm.
5:13). Sebab baginya, “oleh hukum Taurat manusia mengenal dosa” (Rm. 3:20).
Malahan dikatakannya, “Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di
dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati. Dahulu
aku hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa
mulai hidup” (Rm. 7:8-9); “kuasa dosa ialah hukum Taurat” (I Kor. 15:56). Yang
lebih lagi, Paulus mengatakan bahwa hukum Taurat adalah kutuk (Gal. 3:10,
“Karena semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat, berada di bawah
kutuk. Sebab ada tertulis: Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu
yang tertulis dalam kitab hukum Taurat.”).
Sehubungan dengan serangan Paulus terhadap Torah, Bosch memberikan tiga
argumen, yaitu:
a.
Paulus mengritik orang Yahudi yang memaksa orang non
Yahudi untuk melakukan ritual-ritual yang kelihatan daripada menekankan esensi
dari Taurat.
b.
Paulus menegaskan bahwa Injil keselamatan Kristus tidak
boleh dibelokkan oleh ketentuan-ketentuan Taurat.
c.
Paulus menganggap bahwa hukum Taurat menyebabkan
semakin menguatnya eksklusivitas Yahudi.
Dalam kaitan dengan hal yang terakhir ini, Bosch kembali menjelaskan
bahwa, bagi Paulus, Taurat telah menjadi lambang perbedaan sekaligus pembedaan
antara orang Yahudi dan non Yahudi. Hal ini semakin membuat orang Yahudi
semakin partikular dan membanggakan diri sebagai yang terpilih. Mereka telah
melupakan bahwa Taurat merupakan “kebenaran yang datang dari Allah”, sehingga
mereka memisahkan diri dari manusia yang lain dan telah membuat kebenaran dari
Allah itu menjadi kebenaran mereka sendiri. Sifat memecah belah inilah yang
ditolak oleh Paulus. Karena itu setelah ia berjumpa dengan Kristus, ia
menganggap bahwa Taurat telah tidak memadai. Kristuslah jawaban untuk
keselamatan. Dengan demikian Paulus sampai pada kesimpulan bahwa melalui Yesus,
yang mati dan bangkit, Allah menawarkan keselamatan bagi semua orang.
3. Pembenaran Oleh Iman Dan Misi Kepada Bangsa-Bangsa
Sehubungan dengan pandangan tentang pembenaran oleh iman, Paulus dengan
sangat baik menafsirkan kembali perjanjian Allah dengan Abraham, nenek moyang
orang Israel, dalam Galatia 3:1-29 dalam kaitan dengan misi kepada
bangsa-bangsa. Paulus menjelaskan bahwa Abraham dibenarkan karena percayanya.
Karena itu Allah berjanji sekaligus pemberitaan Injil kepada Abraham: “olehmu
segala bangsa akan diberkati” (bnd. Kej. 3:12). Oleh karena itu barangsiapa
yang hidup oleh iman, maka ia akan diberkati bersama-sama dengan Abraham. Dalam
hal ini berlaku: “orang benar akan hidup oleh iman” (bnd. Hab. 2:4).
Paulus kemudian menarik hubungan antara janji Allah kepada Abraham dengan
Kristus. Allah mengucapkan janji itu kepada Abraham dan keturunannya (tunggal),
bukan keturunan-keturunannya (jamak). Keturunan Abraham itulah Kristus (Gal.
3:16). Oleh karena itu barangsiapa yang percaya kepada Kristus, ia menjadi
anak-anak Allah karena imannya. “Setiap orang yang dibaptis dalam Kristus telah
mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani…karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Dan jikalau kamu adalah
milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima
janji Allah” (Gal. 3:27-29).
2. Pertama-tama Orang Yahudi
Dan Juga Orang Non Yahudi
Walaupun Paulus mengritik partikularitas bangsanya, ia menerima dan
mengakui bahwa, “Injil…menyelamatkan…pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga
orang Yunani” (Rm. 1:16). Paulus tidak menyangkal klaim orang Yahudi sehubungan
dengan pemilihan Allah atas mereka. Ia pun mengetahui bahwa “Kristus telah
menjadi pelayan orang-orang bersunat” (Rm. 15:8) dan Petrus diutus kepada
orang-orang yang bersunat (Gal. 2:7-9).
Paulus meyakini bahwa Israel tetap menjadi prioritas sejarah keselamatan,
walau Injil keselamatan itu telah sampai kepada bangsa-banga lain (Rm. 3:1-4a, “Jika demikian, apakah
kelebihan orang Yahudi dan apakah gunanya sunat? Banyak sekali, dan di dalam segala
hal. Pertama-tama: sebab kepada merekalah dipercayakan firman Allah. Jadi
bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan
itu membatalkan kesetiaan Allah? Sekali-kali tidak!”). Baginya, Allah
mempercayakan janji-janji-Nya terlebih dahulu kepada orang Yahudi (dalam
Perjanjian Lama) dan Kristus adalah kegenapan dari janji Allah. Dengan demikian
Injil yang diberitakan oleh Paulus bukanlah agama baru, tapi jawaban Allah atas
kerinduan Israel yang mengharapkan zaman mesianis.
Oleh karena ketegaran Israel
dengan menolak Yesus, maka janji keselamatan Allah itu dilanjutkan kepada
banagsa-bangsa lain. Benar bahwa orang Yahudi pertama menerima keselamatan itu,
tetapi juga berlaku bagi orang-orang non Yahudi yang percaya kepada Kristus.
Sebab dalam Kristus Yesus tidak ada lagi pembedaan antara orang Yahudi dan
orang non Yahudi (Gal. 3:28; Rm. 10:12). Paulus mengatakan bahwa mereka semua
“telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23). Akan tetapi kematian dan
kebangkitan Yesus telah membuka jalan bagi perdamaian antara Allah dan manusia;
Allah menerima manusia tanpa syarat karena kasih karunia-Nya melalui penebusan
Yesus Kristus. Oleh karena itu Allah bukan hanya milik orang Yahudi, tapi juga
milik orang non Yahudi (Rm. 3:29); kasih karunia-Nya pun bukan hanya untuk
orang Yahudi, tapi juga untuk orang non Yahudi. Sehubungan dengan hal ini,
Paulus mengatakan bahwa orang-orang non Yahudi ibarat pohon zaitun liar yang
dicangkokkkan pada pohon zaitun sejati, Israel (Rm. 11:24). Dengan demikian
Paulus mencegah agar orang-orang non Yahudi tidak menjadi sombong dengan Inji
yang telah mereka terima dalam kaitan dengan bangsa Israel (Rm. 11:25).
Teologinya tentang Injil pertama kali sampai kepada orang Yahudi dan
kemudian kepada orang-orang non Yahudi coba dijelaskannya dalam Roma 9-11. Inti
dari tiga pasal ini mungkin dapat ditemukan dalam Roma 11:25-27, “Sebab, saudara-saudara,
supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui
rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh
dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian seluruh Israel akan
diselamatkan, seperti ada tertulis: ‘Dari Sion akan datang Penebus, Ia akan
menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub. Dan inilah perjanjian-Ku dengan
mereka, apabila Aku menghapuskan dosa mereka’”). Argumen Paulus ini
ditempatkannya dalam bingkai apokaliptik, bahwa misi kepada orang non Yahudi
akan berlaku sampai pada kedatangan Yesus kali yang kedua (parousia).
Dengan menggunakan kutipan dari Perjanjian Lama (Ul. 29:4 dan Yes. 29:10),
Paulus mengatakan, “seperti ada tertulis: ‘Allah membuat mereka tidur nyenyak,
memberikan mata untuk tidak melihat dan telinga untuk tidak mendengar, sampai
kepada hari sekarang ini.’ Dan Daud berkata: ‘Biarlah jamuan mereka menjadi
jerat dan perangkap, penyesatan dan pembalasan bagi mereka. Dan biarlah mata
mereka menjadi gelap, sehingga mereka tidak melihat, dan buatlah punggung
mereka terus-menerus membungkuk’.” Allah
membiarkan ketegaran sebagian bangsa Israel yang menolak Yesus agar supaya
bangsa-bangsa lain menerima janji keselamatan Allah. Ketegaran sebagian Israel
telah menciptakan ruang misi bagi bangsa-bangsa non Yahudi dan mempermudah
masuknya “jumlah yang penuh” dari orang-orang non Yahudi sampai kedatangan
Penebus (Yesus Kristus) kembali.
Dengan hal ini
maka Paulus henda mengkritik dua kelompok, baik Yahudi maupun non Yahudi. Bagi
orang Yahudi, bahwa mereka harus belajar untuk memperluas janji kasih karunia
Allah yang menerima semua bangsa tanpa syarat. Bagi orang non Yahudi, bahwa
mereka tidak boleh sombong, sebab Injil yang diberitakan oleh Paulus adalah
perluasan janji Allah kepada bangsa Israel.
C. Makna Teologi Misi Paulus Bagi Jemaat
GKST Betlehem Maoti
Pada bagian
pengantar telah disinggung bahwa tulisan ini bermaksud menjelaskan perspektif
teologi misi Paulus yang memiliki makna bagi jemaat masa kini. Sudah disinggung
pula bahwa konteks yang diambil adalah konteks jemaat GKST ‘Betlehem’ Maoti.
1.
Gambaran Ringkas Jemaat GKST ‘Betlehem’ Maoti
Jemaat
GKST Betlehem Maoti jemaat yang mayoritas anggotanya berasal dari suku Bali
yang dalam banyak hal masih mempertahankan budaya Bali mereka. Dalam konteks
internal, jemaat diperhadapkan dengan realitas pluralitas anggotanya, bahwa di
dalam anggota jemaat itu bukan hanya mereka (suku Bali), tetapi juga masyarakat
dari suku setempat, yaitu suku Kaili. Mereka kini sebagian besarnya tergolong
masyarakat miskin dan semakin tersisih dari komunitas jemaat karena terkesan
tidak mampu “bersaing” dalam hidup dengan masyarakat pendatang. Selain dua suku
itu, ada juga masyarakat pendatang dari suku Poso dan Mori di bagian selatan
Sulawesi Tengah.
Di
pihak lain, dalam kehidupan bermasyarakat, jemaat ini diperhadapkan dengan
realitas kemajemukan agama, karena diapit oleh dua agama yang jumlah
penganutnya berimbang, yaitu agama Hindu dan Islam. Pemeluk agama Hindu adalah
mereka yang juga bertransmigrasi dari pulau Bali bersama-sama dengan anggota
jemaat GKST Betlehem Maoti yang bersuku Bali. Sedangkan pemeluk agama Islam,
yaitu suku-suku pendatang dari Sulawesi Selatan (suku Makassar dan Masamba).
Selain itu ada juga kelompok-kelompok pengungsi Islam bekas kerusuhan Poso yang
kini menetap dan menjadi penduduk setempat.
2. Makna Teologi Misi Paulus Bagi Jemaat
Berdasarkan
gambaran ringkas di atas nampak bahwa konteks jemaat GKST ‘Betlehem’ Maoti
memiliki kesejajaran dengan konteks misi Paulus kepada bangsa-bangsa non
Yahudi. Jelas bahwa Injil yang mereka
terima tentunya adalah perluasan janji keselamatan Allah kepada Israel. Oleh
karena itu mereka diajak untuk tidak sombong dalam hal penerimaan mereka
terhadap Injil. Pluralitas anggota dalam jemaat
merupakan suatu karunia Allah yang mengajar mereka untuk hidup saling
memberdayakan dan bukan memperdayakan sebagai umat yang telah menerima anugerah
keselamatan itu. Bukan sebaliknya, yang mayoritas justru menindas yang
minoritas. Bersama-sama mereka harus hidup dalam persekutuan umat Allah dengan
berdasar pada iman, pengharapan dan kasih. Beriman dan berharap kepada Yesus
Kristus, juga memiliki kasih kepada Yesus yang diwujudkan dalam hubungan yang
baik dengan sesama. Tidak boleh ada sekat-sekat sukuisme yang membuat jarak di
antara mereka: saya dari suku Bali, kamu dari suku Kaili. Yesus telah mengerjakan
keselamatan itu dengan menghapuskan batas-batas pemisah antara suku yang satu
dengan suku yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dalam internal
jemaat, misi diarahkan untuk hidup dengan saling menguntungkan sebagai umat
Allah. Sifat superioritas hendaknya dihilangkan karena mereka semua adalah
anggota umat Allah.
Dalam konteks
eksternal, jemaat diperhadapkan dalam situasi perjumpaan dengan orang-orang
yang tidak seagama dengan mereka. Mereka diharapkan untuk tidak eksklusif tapi
justru inklusif, karena dengan inklusivitas Injillah mereka menerima anugerah
keselamatan. Apalagi berjumpa dengan para pengungsi Islam dari Poso yang
jelas-jelas baru saja mengalami konflik bernuansa agama. Luka-luka batin
mungkin masih terasa, dan mereka pun dalam tempat yang baru berjumpa dengan
jemaat Kristen. Oleh karena itu misi diarahkan pada upaya untuk hidup
berdampingan yang saling mengasihi. Dengan belajar mengasihi mereka yang
berbeda agama, maka jemaat pun belajar untuk menerapkan kasih Kristus yang menyelamatkan
setiap orang, sebagaimana yang jemaat telah terima.
Dalam kaitan
dengan pemeluk agama lain yang telah lama hidup bersama, jemaat juga dihadapkan
dengan masalah yang sama. Mereka semua harus bersama-sama menyadari diri
sebagai “pendatang” yang diharapkan untuk tidak menindas masyarakat “setempat.”
Mereka harus membagi berkat yang Allah berikan, yang sebernarnya datang pertama
kepada masyarakat “setempat” karena merekalah yang memberikan tanah untuk
diusahakan oleh penduduk “pendatang.” Semua ini merupakan jalan untuk hidup
berdampingan yang seimbang, sehingga dapat mencegah terjadinya gesekan-gesekan
yang dapat mengarah pada konflik yang dapat merugikan semua pihak.
Kepustakaan
Alkitab,
Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997
Bosch, D.J., Transformasi
Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2005
Barclay, W., Duta Bagi Kristus, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001
Bruce, F.F., Paul: Apostle of the Heart Set Free, Grand
Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1991
Sugirtharajah, R.S., ‘Inter-faith Hermeneutics: An
Example And Some Implications’ dalam Mission Studies VII-1
Jacobs, T., Paulus: Hidup, Karya
dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius, 1983
Dumbrell, W.J., ‘Abraham
and Abrahamic Covenant in Galatians 3:1-14’ in P. Bolt & M. Thomson, The
Gospel to the Nations: Perspectives on Paul’s Mision, England: Apollos,
2000
Wenham, D,. Paul:
Follower of Jesus or Founder of Christianity, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1995
Woga, E., Dasar-Dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius,
2002
Baccarat - How To Play in Las Vegas - FBCasino
BalasHapusBaccarat, the game of baccarat is a simple game of luck. The player takes turns spinning the reels of a coin, taking 바카라 그림 a total of