Senin, 03 Oktober 2011

Teologi Misi Paulus Bagi Konteks Jemaat Maoti

“…oleh kuasa Roh Kudus…aku telah memberitakan sepenuhnya Injil Kristus.
…di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain, tetapi sesuai dengan yang ada tertulis:
‘Mereka, yang belum pernah menerima berita tentang Dia, akan melihat Dia,
dan mereka, yang tidak pernah mendengarnya, akan mengertinya’. ”
(Roma 15:19-21)

Pengantar
            Semua orang Kristen pasti menyetujui bahwa Paulus adalah rasul yang memberitakan Injil tentang Yesus Kristus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Melalui surat-suratnya, lebih khusus surat kepada jemaat di Roma, ia mengemukakan pandangan teologisnya tentang misi yang berawal dari kasih karunia Allah kepada bangsa Israel, yang kemudian berlanjut kepada bangsa-bangsa di luar Israel. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ia disebut sebagai teolog Kristen yang pertama sekaligus misionaris Kristen pertama.
            Memang tidak mudah untuk meneliti perpektif misi Paulus, sebab sekurang-kurangnya ada tujuh surat yang harus dipelajari untuk mencari tahu maksud Paulus tentang misi, khususnya perspektif misi kepada bangsa-bangsa di luar Yahudi. Yang unik dari Paulus adalah kejeniusannya dalam memahami Perjanjian Lama untuk melaksanakan misi kepada bangsa-bangsa.
Tulisan ini dimulai dengan pengantar untuk mengarahkan pembaca pada cakupan studi khusus ini. Kemudian dilanjutkan dengan ulasan ringkas peristiwa pemanggilannya menjadi rasul, lalu perspektifnya tentang misi kepada bangsa-bangsa dengan bertolak dari pemahamannya tentang Perjanjian Lama. Bahasan berikut tentunya berkaitan dengan makna perspektif teologi misi Paulus bagi jemaat masa kini. Konteks yang diambil adalah jemaat Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) “Betlehem” Maoti. Setelah pembahasan ini, maka tulisan ini akan diakhiri dengan penutup.
A. Paulus Dan Pemanggilannya Menjadi Rasul
Paulus adalah seorang Yahudi. Sehubungan dengan hal ini ia mengatakan, “…disunat pada hari kedelapan, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi” (Flp. 3:4-5). Ini menjelaskan bahwa ia adalah seorang Yahudi yang sangat fanatik. Bahkan sebelum memberitakan Injil, ia adalah seorang murid dari Gamaliel, rabi Farisi yang kesohor (Kis. 22:3), dan dengan demikian ia  mempersiapkan diri untuk menjadi seorang rabi Yahudi golongan Farisi. 
Kefanatikannya sebagai seorang Yahudi yang legalis itulah yang menyebabkan pada awalnya ia menganiaya jemaat Tuhan (Kis. 8:3). Akan tetapi peristiwa dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9:1-19) membuat ia berubah total: dari seorang Yahudi golongan Farisi yang paling fanatik dan berusaha untuk membunuh orang Kristen menjadi rasul Kristus yang memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain. Sehubungan dengan perubahan Paulus ini, tafsir tradisional menyebutnya bertobat (conversion). Ia dipandang telah berbalik dari seorang Yahudi legalis menjadi seorang pengikut dan pendekar Kristus yang membangun jemaat yang tadinya ia hendak binasakan.
Sehubungan dengan hal ini, Sugirtharajah memberikan pendapat yang sangat baik dalam konteks pluralitas agama. Ia mengatakan bahwa yang terjadi dalam diri Paulus adalah metamorfosis, transformasi. Istilah ini yang juga digunakan dalam ajakannya kepada jemaat di Roma “…berubahlah oleh pembaharuan budimu…” (Rm. 12:2); atau istilah symmorphosis, “menjadi serupa dengan”. Perubahan dalam diri Paulus adalah suatu transformasi di mana ia menjadi serupa dengan Kristus (Flp. 3:10, Rm. 8:29).
Yang menyebabkan transformasi Paulus adalah “penyataan Yesus Kristus” (Gal. 1:12). Sambil mengartikan Ièsou Christou sebagai genetivus subjectivus, menurut Sugirtharajah, Yesus Kristus menyatakan Allah sebagai berbelas kasih. Kalau orang Farisi melihat Allah sebagai Yang Kudus, yang mendorong Israel untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa yang najis, maka Yesus kembali menyatakan Allah sebagai “Penyayang dan Pengasih.” Hal ini yang juga mendorong Yesus kemudian Paulus untuk menerima sesama, khususnya yang disingkirkan. Jadi, karena penyataan Yesus Kristus, Paulus mengalami suatu transformasi dari Yudaisme yang eksklusif menjadi seorang Yahudi yang inklusif. Inilah yang mendorongnya untuk menerima bangsa-bangsa lain dalam umat Allah yang baru. Ini pula yang menggeser pandangan misi sentripetal (bangsa-bangsa datang kepada orang Yahudi) kepada pandangan misi sentrifugal (orang Yahudi yang datang kepada bangsa-bangsa). 
B. Paulus: Antara Yahudi dan Non-Yahudi
1. Pandangan Paulus Tentang Taurat
Pandangan Paulus tentang Taurat dapat dikatakan rumit. Di satu pihak ia memuji Taurat; akan tetapi pada pihak lain ia tampak mengutuknya. Baginya, Taurat adalah “hukum Allah” (Rm. 7:22). Ia juga mengatakan bahwa “hukum Taurat adalah kudus” (Rm. 7:12), “hukum Taurat itu baik” (Rm. 7:16). Di antara anugerah-anugerah yang diterima oleh orang Israel juga disebut hukum Taurat (Rm. 9:4).
Namun demikian Paulus mengatakan, “dosa tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (Rm. 5:13). Sebab baginya, “oleh hukum Taurat manusia mengenal dosa” (Rm. 3:20). Malahan dikatakannya, “Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati. Dahulu aku hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup” (Rm. 7:8-9); “kuasa dosa ialah hukum Taurat” (I Kor. 15:56). Yang lebih lagi, Paulus mengatakan bahwa hukum Taurat adalah kutuk (Gal. 3:10, “Karena semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat.”).
Sehubungan dengan serangan Paulus terhadap Torah, Bosch memberikan tiga argumen, yaitu:
a.       Paulus mengritik orang Yahudi yang memaksa orang non Yahudi untuk melakukan ritual-ritual yang kelihatan daripada menekankan esensi dari Taurat.
b.      Paulus menegaskan bahwa Injil keselamatan Kristus tidak boleh dibelokkan oleh ketentuan-ketentuan Taurat.
c.       Paulus menganggap bahwa hukum Taurat menyebabkan semakin menguatnya eksklusivitas Yahudi.
Dalam kaitan dengan hal yang terakhir ini, Bosch kembali menjelaskan bahwa, bagi Paulus, Taurat telah menjadi lambang perbedaan sekaligus pembedaan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Hal ini semakin membuat orang Yahudi semakin partikular dan membanggakan diri sebagai yang terpilih. Mereka telah melupakan bahwa Taurat merupakan “kebenaran yang datang dari Allah”, sehingga mereka memisahkan diri dari manusia yang lain dan telah membuat kebenaran dari Allah itu menjadi kebenaran mereka sendiri. Sifat memecah belah inilah yang ditolak oleh Paulus. Karena itu setelah ia berjumpa dengan Kristus, ia menganggap bahwa Taurat telah tidak memadai. Kristuslah jawaban untuk keselamatan. Dengan demikian Paulus sampai pada kesimpulan bahwa melalui Yesus, yang mati dan bangkit, Allah menawarkan keselamatan bagi semua orang.  
3. Pembenaran Oleh Iman Dan Misi Kepada Bangsa-Bangsa
Sehubungan dengan pandangan tentang pembenaran oleh iman, Paulus dengan sangat baik menafsirkan kembali perjanjian Allah dengan Abraham, nenek moyang orang Israel, dalam Galatia 3:1-29 dalam kaitan dengan misi kepada bangsa-bangsa. Paulus menjelaskan bahwa Abraham dibenarkan karena percayanya. Karena itu Allah berjanji sekaligus pemberitaan Injil kepada Abraham: “olehmu segala bangsa akan diberkati” (bnd. Kej. 3:12). Oleh karena itu barangsiapa yang hidup oleh iman, maka ia akan diberkati bersama-sama dengan Abraham. Dalam hal ini berlaku: “orang benar akan hidup oleh iman” (bnd. Hab. 2:4).
Paulus kemudian menarik hubungan antara janji Allah kepada Abraham dengan Kristus. Allah mengucapkan janji itu kepada Abraham dan keturunannya (tunggal), bukan keturunan-keturunannya (jamak). Keturunan Abraham itulah Kristus (Gal. 3:16). Oleh karena itu barangsiapa yang percaya kepada Kristus, ia menjadi anak-anak Allah karena imannya. “Setiap orang yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani…karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah” (Gal. 3:27-29).
2. Pertama-tama Orang Yahudi  Dan Juga Orang Non Yahudi
Walaupun Paulus mengritik partikularitas bangsanya, ia menerima dan mengakui bahwa, “Injil…menyelamatkan…pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani” (Rm. 1:16). Paulus tidak menyangkal klaim orang Yahudi sehubungan dengan pemilihan Allah atas mereka. Ia pun mengetahui bahwa “Kristus telah menjadi pelayan orang-orang bersunat” (Rm. 15:8) dan Petrus diutus kepada orang-orang yang bersunat (Gal. 2:7-9).
Paulus meyakini bahwa Israel tetap menjadi prioritas sejarah keselamatan, walau Injil keselamatan itu telah sampai kepada bangsa-banga lain (Rm. 3:1-4a, “Jika demikian, apakah kelebihan orang Yahudi dan apakah gunanya sunat? Banyak sekali, dan di dalam segala hal. Pertama-tama: sebab kepada merekalah dipercayakan firman Allah. Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah? Sekali-kali tidak!”). Baginya, Allah mempercayakan janji-janji-Nya terlebih dahulu kepada orang Yahudi (dalam Perjanjian Lama) dan Kristus adalah kegenapan dari janji Allah. Dengan demikian Injil yang diberitakan oleh Paulus bukanlah agama baru, tapi jawaban Allah atas kerinduan Israel yang mengharapkan zaman mesianis. 
  Oleh karena ketegaran Israel dengan menolak Yesus, maka janji keselamatan Allah itu dilanjutkan kepada banagsa-bangsa lain. Benar bahwa orang Yahudi pertama menerima keselamatan itu, tetapi juga berlaku bagi orang-orang non Yahudi yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam Kristus Yesus tidak ada lagi pembedaan antara orang Yahudi dan orang non Yahudi (Gal. 3:28; Rm. 10:12). Paulus mengatakan bahwa mereka semua “telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23). Akan tetapi kematian dan kebangkitan Yesus telah membuka jalan bagi perdamaian antara Allah dan manusia; Allah menerima manusia tanpa syarat karena kasih karunia-Nya melalui penebusan Yesus Kristus. Oleh karena itu Allah bukan hanya milik orang Yahudi, tapi juga milik orang non Yahudi (Rm. 3:29); kasih karunia-Nya pun bukan hanya untuk orang Yahudi, tapi juga untuk orang non Yahudi. Sehubungan dengan hal ini, Paulus mengatakan bahwa orang-orang non Yahudi ibarat pohon zaitun liar yang dicangkokkkan pada pohon zaitun sejati, Israel (Rm. 11:24). Dengan demikian Paulus mencegah agar orang-orang non Yahudi tidak menjadi sombong dengan Inji yang telah mereka terima dalam kaitan dengan bangsa Israel (Rm. 11:25).
Teologinya tentang Injil pertama kali sampai kepada orang Yahudi dan kemudian kepada orang-orang non Yahudi coba dijelaskannya dalam Roma 9-11. Inti dari tiga pasal ini mungkin dapat ditemukan dalam Roma 11:25-27, “Sebab, saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan, seperti ada tertulis: ‘Dari Sion akan datang Penebus, Ia akan menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub. Dan inilah perjanjian-Ku dengan mereka, apabila Aku menghapuskan dosa mereka’”). Argumen Paulus ini ditempatkannya dalam bingkai apokaliptik, bahwa misi kepada orang non Yahudi akan berlaku sampai pada kedatangan Yesus kali yang kedua (parousia). Dengan menggunakan kutipan dari Perjanjian Lama (Ul. 29:4 dan Yes. 29:10), Paulus mengatakan, “seperti ada tertulis: ‘Allah membuat mereka tidur nyenyak, memberikan mata untuk tidak melihat dan telinga untuk tidak mendengar, sampai kepada hari sekarang ini.’ Dan Daud berkata: ‘Biarlah jamuan mereka menjadi jerat dan perangkap, penyesatan dan pembalasan bagi mereka. Dan biarlah mata mereka menjadi gelap, sehingga mereka tidak melihat, dan buatlah punggung mereka terus-menerus membungkuk’.”  Allah membiarkan ketegaran sebagian bangsa Israel yang menolak Yesus agar supaya bangsa-bangsa lain menerima janji keselamatan Allah. Ketegaran sebagian Israel telah menciptakan ruang misi bagi bangsa-bangsa non Yahudi dan mempermudah masuknya “jumlah yang penuh” dari orang-orang non Yahudi sampai kedatangan Penebus (Yesus Kristus) kembali.        
Dengan hal ini maka Paulus henda mengkritik dua kelompok, baik Yahudi maupun non Yahudi. Bagi orang Yahudi, bahwa mereka harus belajar untuk memperluas janji kasih karunia Allah yang menerima semua bangsa tanpa syarat. Bagi orang non Yahudi, bahwa mereka tidak boleh sombong, sebab Injil yang diberitakan oleh Paulus adalah perluasan janji Allah kepada bangsa Israel.
    C. Makna Teologi Misi Paulus Bagi Jemaat GKST Betlehem Maoti
Pada bagian pengantar telah disinggung bahwa tulisan ini bermaksud menjelaskan perspektif teologi misi Paulus yang memiliki makna bagi jemaat masa kini. Sudah disinggung pula bahwa konteks yang diambil adalah konteks jemaat GKST ‘Betlehem’ Maoti.
1. Gambaran Ringkas Jemaat GKST ‘Betlehem’ Maoti
Jemaat GKST Betlehem Maoti jemaat yang mayoritas anggotanya berasal dari suku Bali yang dalam banyak hal masih mempertahankan budaya Bali mereka. Dalam konteks internal, jemaat diperhadapkan dengan realitas pluralitas anggotanya, bahwa di dalam anggota jemaat itu bukan hanya mereka (suku Bali), tetapi juga masyarakat dari suku setempat, yaitu suku Kaili. Mereka kini sebagian besarnya tergolong masyarakat miskin dan semakin tersisih dari komunitas jemaat karena terkesan tidak mampu “bersaing” dalam hidup dengan masyarakat pendatang. Selain dua suku itu, ada juga masyarakat pendatang dari suku Poso dan Mori di bagian selatan Sulawesi Tengah.
Di pihak lain, dalam kehidupan bermasyarakat, jemaat ini diperhadapkan dengan realitas kemajemukan agama, karena diapit oleh dua agama yang jumlah penganutnya berimbang, yaitu agama Hindu dan Islam. Pemeluk agama Hindu adalah mereka yang juga bertransmigrasi dari pulau Bali bersama-sama dengan anggota jemaat GKST Betlehem Maoti yang bersuku Bali. Sedangkan pemeluk agama Islam, yaitu suku-suku pendatang dari Sulawesi Selatan (suku Makassar dan Masamba). Selain itu ada juga kelompok-kelompok pengungsi Islam bekas kerusuhan Poso yang kini menetap dan menjadi penduduk setempat.   
   2. Makna Teologi Misi Paulus Bagi Jemaat
Berdasarkan gambaran ringkas di atas nampak bahwa konteks jemaat GKST ‘Betlehem’ Maoti memiliki kesejajaran dengan konteks misi Paulus kepada bangsa-bangsa non Yahudi.  Jelas bahwa Injil yang mereka terima tentunya adalah perluasan janji keselamatan Allah kepada Israel. Oleh karena itu mereka diajak untuk tidak sombong dalam hal penerimaan mereka terhadap Injil. Pluralitas anggota dalam jemaat  merupakan suatu karunia Allah yang mengajar mereka untuk hidup saling memberdayakan dan bukan memperdayakan sebagai umat yang telah menerima anugerah keselamatan itu. Bukan sebaliknya, yang mayoritas justru menindas yang minoritas. Bersama-sama mereka harus hidup dalam persekutuan umat Allah dengan berdasar pada iman, pengharapan dan kasih. Beriman dan berharap kepada Yesus Kristus, juga memiliki kasih kepada Yesus yang diwujudkan dalam hubungan yang baik dengan sesama. Tidak boleh ada sekat-sekat sukuisme yang membuat jarak di antara mereka: saya dari suku Bali, kamu dari suku Kaili. Yesus telah mengerjakan keselamatan itu dengan menghapuskan batas-batas pemisah antara suku yang satu dengan suku yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dalam internal jemaat, misi diarahkan untuk hidup dengan saling menguntungkan sebagai umat Allah. Sifat superioritas hendaknya dihilangkan karena mereka semua adalah anggota umat Allah.
Dalam konteks eksternal, jemaat diperhadapkan dalam situasi perjumpaan dengan orang-orang yang tidak seagama dengan mereka. Mereka diharapkan untuk tidak eksklusif tapi justru inklusif, karena dengan inklusivitas Injillah mereka menerima anugerah keselamatan. Apalagi berjumpa dengan para pengungsi Islam dari Poso yang jelas-jelas baru saja mengalami konflik bernuansa agama. Luka-luka batin mungkin masih terasa, dan mereka pun dalam tempat yang baru berjumpa dengan jemaat Kristen. Oleh karena itu misi diarahkan pada upaya untuk hidup berdampingan yang saling mengasihi. Dengan belajar mengasihi mereka yang berbeda agama, maka jemaat pun belajar untuk menerapkan kasih Kristus yang menyelamatkan setiap orang, sebagaimana yang jemaat telah terima.
Dalam kaitan dengan pemeluk agama lain yang telah lama hidup bersama, jemaat juga dihadapkan dengan masalah yang sama. Mereka semua harus bersama-sama menyadari diri sebagai “pendatang” yang diharapkan untuk tidak menindas masyarakat “setempat.” Mereka harus membagi berkat yang Allah berikan, yang sebernarnya datang pertama kepada masyarakat “setempat” karena merekalah yang memberikan tanah untuk diusahakan oleh penduduk “pendatang.” Semua ini merupakan jalan untuk hidup berdampingan yang seimbang, sehingga dapat mencegah terjadinya gesekan-gesekan yang dapat mengarah pada konflik yang dapat merugikan semua pihak.       

Kepustakaan
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997 
Bosch, D.J., Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005 

Barclay, W., Duta Bagi Kristus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
Bruce, F.F., Paul: Apostle of the Heart Set Free, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1991
Sugirtharajah, R.S., ‘Inter-faith Hermeneutics: An Example And Some Implications’ dalam Mission Studies VII-1

Jacobs, T., Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, Yogyakarta: Kanisius, 1983
Dumbrell, W.J., ‘Abraham and Abrahamic Covenant in Galatians 3:1-14’ in P. Bolt & M. Thomson, The Gospel to the Nations: Perspectives on Paul’s Mision, England: Apollos, 2000

Wenham, D,. Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity, Grand  Rapids: Wm. B. Eerdmans, 1995

Woga, E., Dasar-Dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002

1 komentar:

  1. Baccarat - How To Play in Las Vegas - FBCasino
    Baccarat, the game of baccarat is a simple game of luck. The player takes turns spinning the reels of a coin, taking 바카라 그림 a total of

    BalasHapus