Retorika Paulus Di Atena Sebagai Upaya
Kontekstualisasi Dalam Pluralisme Agama
A. Pengantar
Ketika membaca Alkitab, maka
pertanyaan mendesak yang hendak dijawab oleh pembacanya adalah a) apa itu teks?
dan, b) apa maknanya? Dari sinilah penafsiran terhadap Alkitab dimulai.
Pada
dasarnya tujuan penafsiran Alkitab dirumuskan dengan sangat baik oleh kalangan
Katolik melalui Komisi Kitab Suci Kepausan. Dikatakan, ““… Gereja tidak hanya
memandang Alkitab sebagai suatu kumpulan dokumen tentang asal usulnya. Gereja
menerima Alkitab sebagai Sabda Allah yang ditujukan baik kepada dirinya sendiri
maupun kepada seluruh dunia sekarang ini. Keyakinan ini berasal dari iman, lalu
mengarah kepada karya untuk … menginkulturasikan pesan-pesan Alkitab …”
Tujuannya jelas: menginkulturasikan pesan-pesan Alkitab, tentunya dalam konteks
pembacanya.
Tulisan
ini bermaksud untuk mendekati teks Alkitab, khususnya Kisah Para Rasul, melalui
langkah-langkah tafsir agar supaya didapat suatu pesan dalam rangka berteologi
gereja dalam konteks tertentu. Berteologi gereja dalam konteks itulah yang
kalangan Katolik gemar menyebutnya dengan istilah inkulturasi dan kalangan
Protestan lebih menyukai istilah kontekstualisasi.
Teks
yang dipilih untuk dijadikan bahan tafsir adalah Kisah Para Rasul 17:16-34.
Dalam teks ini ditemukan bagaimana Paulus mengabarkan Injil di Atena, pusat
kebudayaan Yunani. Melalui metode retorika, ia berhasil menarik perhatian dan
minat orang Atena terhadap Injil. Tentu sebelum berpidato di hadapan
cendekiawan Atena, terlebih dahulu ia telah mempelajari konteks Atena. Teks ini
dapat mengantar pembaca pada masa kini tentang metode kontekstualisasi yang
terdapat dalam Alkitab, yang tentunya merangsang untuk upaya kontekstualisasi
dalam konteks kini dan di sini.
B. Pendahuluan
Kisah Para Rasul adalah jilid dua
dari buku karya Lukas. Jilid pertama adalah Injil Lukas. Yang menarik dari dua
karya ini adalah adanya kalimat pembuka di awal tulisan yang menyebutkan bahwa
tulisan ini ditujukan atau lebih tepatnya didedikasikan kepada seorang yang
bernama Teofilus (Luk. 1:1; Kis. 1:1). Menurut umumnya anggapan, Teofilus
adalah seorang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, khususnya dalam
bidang pemerintahan Romawi. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata yang sama,
yaitu “yang mulia” kepada Teofilus dan dikenakan pula kepada gubernur Feliks (
Luk. 24:2) dan Festus (Luk. 26:25).
Yang menarik dari karya Lukas ini
adalah kenyataan bahwa hanya Lukas saja yang mencantumkan semacam kata
pengantar dan sekaligus penerima karyanya ini. Oleh karena pembacanya adalah
seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, tentu saja dia menyiapkan tulisannya
dengan sangat baik. Ia bahkan mengatakan bahwa dalam menyusun kisahnya tentang
Yesus dan tentang tindakan para rasul dalam menyebarkan Injil, terlebih dahulu
ia menyelidiki peristiwa itu dengan saksama melalui berbagai sumber pada waktu
itu (Luk. 1:3). Tujuannya adalah: “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa
segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar” (Luk. 1:4). Dari sini
dapat dipahami bahwa mungkin saja Teofilus adalah seorang yang baru percaya,
yang perlu mendapat penjelasan yang logis tentang iman Kristen. Sedangkan Lukas
adalah seorang cendekiawan yang sedang meyakinkan seorang “murid” bernama
Teofilus.
Dalam rangka proses pembelajaran
untuk meyakinkan itu, maka Lukas menyiapkan karya yang tentunya harus menggunakan
bahasa yang baik dan bermutu, yang disesuaikan dengan konteks “keningratan”
Teofilus. Bagi Lukas, karyanya itu merupakan sarana komunikasi persuasif dalam
rangka pencapaian tujuan itu. Apabila fungsi Injil Lukas dan Kisah Para Rasul
dilihat dari kacamata ini, maka terbukalah peluang untuk melihat karya Lukas
ini dari sudut pandang yang lain.
Sudut pandang yang dimaksud adalah
mendekati teks Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul dari sisi retorika. Hal ini
bukanlah upaya yang mengada-ada, sebab dalam masa Perjanjian Baru retorika
memainkan peran yang tinggi dalam komunikasi lisan maupun tulisan di antara
para cendekiawan pada masa itu.
C.
Retorika
Dalam Dunia Yunani Romawi Klasik
Umumnya retorika (r`htorikh,) dipahami sebagai “seni mempergunakan bahasa dalam merangkai wacana
untuk tujuan persuasif agar supaya pendengar atau pembaca menangkap maksud dari
pembicara atau penulis.”[1]
Dalam retorika, ada yang disebut
dengan retorika primer dan ada pula yang disebut retorika sekunder. Retorika
primer dipahami sebagai seni berbicara di hadapan publik sebagai bagian dalam
hidup sosial kemasyarakatan untuk tujuan persuasif, sedangkan retorika sekunder
dipahami sebagai penggunaan teknik-teknik retorika primer dalam
tulisan-tulisan, seperti tulisan-tulisan sejarah, filsafat, drama, puisi dan
sebagainya.[2]
Retorika pada mulanya berkembang dan kemudian
mendapat tempat khusus dalam dunia pendidikan Yunani semasa demokrasi menjadi
bagian yang penting dalam sistem pemerintahan mereka. Ketika Helenisasi
digiatkan oleh pemerintah Romawi yang berimbas pada pengadopsian dan penerapan
gaya pendidikan Helenis pada sistem pendidikan Romawi, maka retorika pun
mendapat perhatian penting. Hal ini dibuktikan dengan adanya aturan bahwa ilmu
retorika menjadi syarat dasar bagi pendidikan tinggi di Romawi. Karenanya
banyak kalangan, seperti guru, pengacara, pejabat pemerintah, pejabat sipil dan
juga para sastrawan, selain belajar ilmu filsafat, mereka juga membekali diri
dengan ilmu retorika dalam pendidikan formal. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa siapapun yang berpendidikan di wilayah kekasisaran Romawi pasti mengenal
dengan baik ilmu retorika baik praktis maupun teoritis.[3]
Karena pengaruh yang demikian luas, maka bukanlah hal yang mengejutkan apabila
sebagian besar sesuatu yang hendak disampaikan kepada publik baik lisan maupun
tulisan sangat dipengaruhi oleh kaidah-kaidah retorika.
Sebagaimana telah dikatakan
sebelumnya, bahwa Lukas adalah seorang cendekiawan, yang tentunya terpelajar,
yang juga menulis kisah kebenaran iman Kristen kepada seorang yang terhormat,
pasti mengenal dengan baik seluk beluk retorika. Studi tentang retorika Yunani
Romawi klasik telah menempatkan karya-karya Lukas, khususnya pidato-pidato
dalam Kisah Para Rasul, dalam bingkai retorika.[4]
D.
Kerangka
Tafsir Retorika
Strategi
pendekatan retorika untuk teks-teks Yunani Romawi klasik disebut aptum.[5]
Dalam retorika primer, istilah ini menjelaskan hubungan antara pembicara (ῥήτωρ, rhētōr, orator), apa yang
dikatakan/pidato retorikanya, dan pendengar. Dalam retorika sekunder, dapat
dikatakan bahwa aptum berhubungan dengan hubungan antara penulis, teks,
dan pembaca. Hubungan-hubungan itu dapat dibagi lagi menjadi: hubungan antara
pembicara/penulis dengan isi pembicaraan/teks, hubungan antara
pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca, dan hubungan antara isi
pembicaraan/teks dengan pendengar/pembaca.[6]
Dalam aptum
terjadi perjumpaan antara penulis/pembicara dengan pendengar/pembaca melalui
yang dibicarakan/teks yang ditulis. Hubungan-hubungan ini nampak dalam apa yang
disebut dengan konteks intertekstual, yaitu bagaimana yang dibicarakan/teks itu diciptakan dan
didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendekati dan “membujuk” serta
menyentuh perasaan pendengar/pembaca. Di sini diperlukan kemampuan analisis dan
evaluasi dari akibat yang ditimbulkan dari suatu komunikasi retorika.[7]
Di
samping aptum, dalam retorika Yunani Romawi klasik ada juga tiga hal
yang sangat menentukan tingkat kepersuasifan suatu retorika, yaitu apa yang
disebut oleh Aristoteles dengan ethos, logos, dan pathos. Ethos
berhubungan dengan karakter moral dan aspek lain dalam diri si
pembicara/penulis yang menentukan kredibilitasnya sebagai seorang rhētōr. Logos merujuk pada
yang dibicarakan/teks yang ditulis sebagai retorika: cara atau teknik
pengungkapan dan penyajian argumen, seperti teknik kalimat induksi atau
deduksi. Sedangkan pathos berkaitan dengan reaksi atau tanggapan
emosional dari pendengar atau pembaca. Dalam menganalisis pembicaraan/teks logos
perlu dibedakan antara argumentasi (verba) yang terkandung dalam ide dan
presentasinya (res) sebagai teknik berbicara (logôn
techne). Oleh karena itu pendekatan
retorika juga berhubungan dengan kemampuan menjelajah berbagai variasi
penyampaian argumen maupun presentasi retorika dalam kaitan dengan aptum.
Masih dalam kaitan dengan teori retorika Yunani Romawi
klasik, teknik berbicara (logôn techne) memiliki pola dasar sebagaimana diungkapkan oleh
beberapa ahli retorika klasik, seperti Aristoteles, Cicero dan Quintilian,
yaitu exordium, naratio, confirmatio, dan conclusio. Namun
demikian, pola dasar ini sering dikembangkan menjadi enam bagian yang saling
berhubungan, yaitu:
a.
Exordium
(pendahuluan): bagian ini bermaksud untuk menyatakan situasi atau kasus, yakni
sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya ketegangan atau perdebatan. Tanpa
kasus ini, bisa jadi tak akan ada persoalan. Lalu oleh karena tidak ada
masalah, maka pidato retorik tidak akan ada.
b.
Narratio
(narasi): maksud bagian ini adalah untuk memaparkan fakta. Di sini dikemukakan
kembali situasi yang melatarbelakangi hal yang dibicarakan itu. Sekalipun
berfungsi demikian, isi bagian ini juga bersifat persuasif.
c.
Propositio:
bagian ini memperjelas apa yang tertuang dalam narasi. Dengan kata lain,
merupakan ringkasan narratio, sekaligus juga persiapan untuk masuk ke
bagian berikutnya, yakni probatio.
d.
Probatio
(bukti): inilah bagian hakiki pidato retorik. Di sini pembicara memaparkan
argumentasi. Untuk maksud itu, ia menyediakan bukti-bukti dan menguraikan
contoh-contoh menurut strategi-strategi yang biasa dan umum berlaku.
e.
Confutatio:
maksud bagian ini adalah menunjukkan dengan bukti apa yang salah dalam rangkaan
argumentasi yang dikemukakan oleh pihak lawan. Karena itu, isi bagian ini
umumnya bersifat negatif.
f.
Conclusio:
bagian ini merupakan bagian paling akhir dari pembicara untuk mengingatkan
pendengar tentang kasus yang sedang dibicarakan. Karena itu, penggunaan
kata-kata dalam bagian ini diusahakan sedemikian rupa agar dapat menimbulkan
sentuhan emosional sekuat mungkin bagi orang yang mendengarnya. Bagian ini bisa
dibagi lagi menjadi: peringatan, pernyataan mengenai akibat dari keputusan, dan
nasihat.
Dalam suatu retorika Aristoteles membagi tiga tipe retorik yang
disesuaikan dengan suasana penyampaiannya (genera causarum), orientasi
waktunya, tujuannya dan sisi-sisi yang saling bertentangan yang menjadi
perhatiannya. Tipe-tipe itu adalah:
a. Tipe yudisial (judicial/forensic),
yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana pengadilan. Orientasi waktu dari tipe ini adalah masa lampau,
yang memiliki sisi “tuduhan” dan “pembelaan.” Hal yang dibahas adalah
masalah keadilan dan ketidakadilan.
b. Tipe deliberatif (deliberatife/legislative), yaitu retorika
yang disampaikan dalam suasana rapat. Orientasi waktunya adalah masa depan,
yang memiliki sisi “bujukan” dan “larangan.” Hal yang dibahas adalah
masalah baik/layak atau tidak baik/layak; atau menguntungkan/berguna atau tidak
menguntungkan/berguna.
c.
Tipe
epideiktis (epideictic/ceremonial/demonstrative), yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana perayaan atau seremoni.
Orientasi waktunya adalah masa kini, yang memiliki sisi “pujian” dan “celaan.” Hal yang dibahas adalah
sifat yang baik atau buruk.
Umumnya para ahli menyetujui bahwa terdapat
lima langkah tafsir dalam pendekatan retorika, yaitu:[8]
a.
Menetapkan unit
retorika, baik unit retorika yang dapat berdiri sendiri maupun keseluruhan
kitab yang dipandang sebagai suatu retorika.
b.
Menentukan
situasi retorika, seperti orang-orang yang berperan (pembicara/orator dan
pendengar), peristiwa-peristiwa dan hal-hal lain yang dapat membuat terjadinya
suatu pidato retorika.
c.
Menentukan
jenis retorika (yudisial, deliberatif, atau epidektis).
d.
Menganalisa
retorika (aptum) melalui ethos, logos dan pathos;
kemudian logos (lo,goj) dianalisis dari daya tarik
penyampaian argumen (penyusunan suatu pidato retorika menurut komponen-komponen
retorika, seperti exordium (pendahuluan), naratio (pemaparan
fakta), divisio (penegasan naratio), probatio (pemaparan
argumen), confutatio (membuktikan kesalahan lawan), dan peroratio
(penutup).
e.
Mengevaluasi
keefektifan retorika melalui tanggapan pendengar terhadap argumen orator.
E.
Tafsir Retorika Kisah Para Rasul 17:16-34
1.
Unit
Retorika
Dalam
pendekatan retorik, penting untuk membatasi bagian atau unit retorika. Salah
satu pidato retorika dalam kitab Kisah Para Rasul adalah pidato rasul Paulus di
Areopagus (17:22b-31). Akan tetapi pidato ini tidak dapat berdiri sendiri jika tidak
memperhatikan konteks teksnya secara keseluruhan. Konteks teks yang lebih luas dari
bagian ini tentu saja kitab Kisah Para Rasul secara keseluruhan dari pasal 1
sampai pasal 28. Kemudian dibatasi lagi dengan menekankan perhatian pada bagian
kedua dari kitab Kisah Para Rasul yang mengarahkan ceritanya pada pemberitaan
Injil oleh Paulus dan teman-temannya kepada orang-orang bukan Yahudi.
Mencermati pidato retorik dengan lebih cermat, maka didapati
bahwa pidato Paulus di Areopagus itu terjadi di Atena. Informasi itu dapat
ditemukan dalam 17:16a, “…sementara Paulus menantikan mereka di Atena…”
yang merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya (17:15, “…orang-orang yang mengiringi Paulus menemaninya sampai di
Atena, lalu kembali dengan pesan kepada Silas dan Timotius, supaya mereka
selekas mungkin datang kepadanya…”).
Dengan demikian, batas awal untuk menentukan unit retorika pidato ini adalah
17:16.
Kemudian dalam 18:1 dikatakan, “kemudian Paulus meninggalkan Atena,
lalu pergi ke Korintus...” Keterangan ini membuktikan bahwa
Paulus telah berpindah tempat untuk memberitakan Injil dari Atena ke Korintus.
Dengan demikian bagian sebelumnya (17:34) merupakan akhir dari kisah tentang
pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena. Jadi, batas akhir untuk menentukan unit
retorika adalah 17:34.
2. Situasi Retorika
Yang dimaksud dengan situasi retorika adalah
mengidentifikasi orang-orang yang turut terlibat dan berpengaruh sehingga
pidato itu terjadi, juga peristiwa-peristiwa yang terjadi yang mendahului
pidato retorika itu. Kisah Para Rasul 17:16-21 dapat menunjukan situasi yang
melatar belakangi terjadinya pidato Paulus di Areopagus. Ketika itu, Paulus
sedang menantikan kedatangan Silas dan Timotius yang masih berada di Berea (17:14-15).
Sebelumnya ketiga orang ini mengabarkan Injil di Berea, tetapi terjadi masalah
dengan orang Yahudi dari Tesalonika yang tidak suka dengan pemberitaan Injil
oleh Paulus. Akibatnya, Paulus pergi ke Atena, sedangkan Silas dan Timotius
masih di Berea.
Sementara menantikan Silas dan Timotius di Atena, Paulus
merasa sedih karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung
berhala (kateidoolon, 17:16) yang disembah oleh penduduk
Atena. Setelah mendapat pemandangan seperti itu, Paulus bertukar pikiran bukan
hanya dengan orang Yahudi (tentunya di sinagoga), tapi juga dengan siapa saja
di pasar (agora), tempat yang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga untuk
kehidupan umum dan tempat mengulas persoalan filsafat dan agama (17:17).
Pemberitaan Injil oleh Paulus mendapat
(salah) tanggapan dari beberapa filsuf-filsuf Epikuros[9]
dan Stoa[10],
sebab mereka menganggap bahwa Paulus memberitakan sesuatu ajaran yang asing di
telinga mereka. Ajaran yang asing itu adalah pemberitaan Paulus tentang Yesus
dan kebangkitan-Nya (anastasis). Ada yang menganggapnya sebagai pembual
atau peleter yang memberitakan ajaran kebangkitan yang tidak masuk akal –
karena para pendengarnya, terlebih kaum Epikuros, tidak mengakui adanya
kebangkitan sesudah kematian. Yang lain salah sangka, karena menganggap Paulus
menyebarkan adanya dewa-dewa baru yang asing bagi mereka. Yang pertama adalah
dewa Yesus dan yang kedua adalah dewi Anastasis (17:18). Oleh karena rasa
penasaran tentang ajaran baru itu, maka mereka mengundang Paulus untuk
menjelaskan lebih dalam lagi apa yang sedang diberitakannya itu di Areopagus,
yaitu suatu tempat berkumpul para anggota dewan sipil yang membahas masalah
filsafat dan agama. Mereka membawanya bukan untuk mengadilinya, tetapi karena
ingin tahu tentang ajaran Paulus (17:19-21).
3. Eksposisi Retorika
Dengan memakai bentuk retorika
deliberatif, Paulus mendekati masyarakat beragama di Atena. Ia memulai
pidatonya (exordium) dengan mengambil hati para pendengar: “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu
sangat beribadah kepada dewa-dewa.” (17:22). Ada catatan penerjemahan dalam bagian ini,
yaitu istilah deisidamonterous harusnya diterjemahkan dengan “sangat
beragama” tanpa tambahan “kepada dewa-dewa.” Bentuk plural kata itu
menunjukkan pluralitasnya masyarakat yang beragama, bukan pluralitasnya
sesembahan (Yang Ilahi). Ini menunjukkan bahwa Paulus sangat menghargai ibadah
orang Atena. Walaupun memang sebelumnya Paulus bersedih karena masyarakat
beragama di Atena merealisasikan cara beragama itu melalui patung-patung (17:16).
Paulus kemudian menceritakan (narratio) bahwa ia melihat
objek-objek ibadah di tempat-tempat pemujaan/ibadah mereka (sebasmata; 17:23a).
Di sana juga ia menemukan sebuah mezbah dengan tulisan: “Kepada Allah yang
tidak dikenal.” Bentuk tunggal menunjukkan adanya monoteisme di Atena.
Selanjutnya Paulus mengemukakan (propositio) bahwa Allah yang tidak
mereka kenal, itulah yang diberitakan olehnya agar supaya mereka mengenal Allah
itu (17:23b).
Bagian selanjutnya, Paulus menguji dan membuktikan (probatio)
apa yang menjadi propositio tadi. Ia menunjukkan: pertama, Allah,
yang adalah Sang Pencipta alam semesta, juga Tuhan langit dan bumi tidak
tinggal dalam kuil/tempat ibadah yang dibuat oleh tangan manusia (17:24), Dia
yang adalah Pemberi dan Pemelihara hidup tentu tidak perlu dihidupkan dan
dilayani dengan korban persembahan atau sesajen dari manusia (17:25). Kedua,
bahwa Allah membuat seluruh umat manusia dari satu orang saja, yang
kemudian menentukan ruang dan waktu bagi mereka, dengan tujuan agar kiranya
manusia mencari dan menemukan Dia (17:26-27b). Ketiga, Paulus memakai
dukungan dari dua filsuf Yunani yang memiliki pandangan tentang Yang Ilahi,
yaitu Epimenides (VI sM), yang memahami bahwa Allah sangat dekat dengan
manusia, karena ia menyadari bahwa manusia hidup, bergerak dan ada di dalam
Allah (17:27b-28); filsuf berikutnya, yaitu Aratos – yang menulis buku Phainomena
dan merupakan sesepuh kaum Stoa – yang meyakini bahwa manusia berasal dari
keturunan Allah (17:29). Karena berasal dari keturunan Allah, maka manusia
tidak boleh membuat patung-patung Allah (17:30).
Pidato Paulus kemudian ditutup
dengan peroratio. Dengan melihat bahwa patung-patung, Paulus mengatakan
bahwa mereka sementara berada dalam zaman ketidaktahuan – di sini sengaja
digunakan kata ketidaktahuan ketimbang kebodohan mengingat kesopanan bahasa
retorika – tentang Allah. Akan tetapi
hal itu tidak lagi menjadi persoalan, karena Allah sedang menyerukan sekaligus
memerintahkan agar mereka bertobat dengan mengubah hidupnya selama ini (17:30).
Alasan penyampaian berita pertobatan itu adalah karena hari
pertanggungjawaban/pengadilan telah ditentukan oleh Allah Yang Esa, yaitu
pengadilan yang oleh seorang yang telah ditentukan dengan membangkitkan-Nya
(17:31).
Semua yang disampaikan oleh Paulus hingga ayat 30 pada dasarnya
memiliki kesetaraan dengan pandangan pemikir Yunani dan juga pandangan kaum
Yahudi dan pandangan Kristen. Arti hal ini adalah Paulus hendak memberikan
suatu dasar bersama agar supaya semua orang dapat memahami apa yang sedang
dibicarakan, walaupun berbeda agama.
Walaupun demikian, dalam ayat 31 terjadi pergeseran argumen
Paulus yang mengetengahkan pandangan Kristen tentang pengadilan oleh seorang
yang ditentukan oleh Allah – di sini Paulus tidak menyebut nama Yesus. Dalam
hal ini, dapat dilihat bahwa kebangkitan (anastasis), yang tadinya
menjadi alasan untuk bekumpul di Areopagus, tidak lagi menjadi persoalan utama,
tetapi bergeser pada pengadilan sebagai pertanggungjawaban sikap manusia di
dunia.
4. Tanggapan Pendengar
Terhadap Retorika Paulus
Tanggapan
terhadap pidato Paulus itu beragam: ada yang mengejek karena dianggap tidak bahwa
pemberitaan Paulus dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka yang tidak
mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian (17:32a), ada yang berminat dengan
menghendaki pembicaraan lebih lanjut di lain kesempatan (17:32b), walaupun hal
ini tidak disinggung lebih lanjut. Ada juga yang menerima pemberitaan itu,
seperti Dionisius (seorang filsuf dan cendekiawan anggota majelis Areopagus),
seorang perempuan bernama Damaris, dan beberapa orang yang lain.
F.
Makna Retorika Paulus Sebagai Kerangka Kontekstualisasi
Injil Dalam Konteks Pluralisme Agama
Perjumpaan
berita Injil dengan dunia filsafat, budaya dan agama Yunani di Atena ini menunjukkan bahwa Injil, yang dibawa oleh
Paulus, dapat menarik minat setiap orang asal menggunakan pendekatan yang
sesuai dengan konteksnya. Lukas, melalui Paulus, dengan jenius mengupayakan
kontekstualisasi Injil dalam konteks agama, budaya dan filsafat Yunani. Dengan
mengambil konteks Atena, maka alam pikiran Yunani Romawi dapat terwakilkan.
Sehubungan
dengan kerangka berteologi gereja dalam konteks pluralisme agama, belajar dari
retorika Paulus di Atena, maka beberapa hal yang dapat dicantumkan adalah:
1.
Pemberitaan Injil hendaknya dimulai dengan dialog iman yang
menggunakan dasar bersama. Apabila orang Kristen memberitakan Injil dengan
langsung menyebut istlah-istilah seperti Trinitas, Pengakuan Iman Rasuli dan
sebagainya, tentu akan menimbulkan ketegangan dan mungkin konflik. Hal-hal yang
diakui secara bersama, seperti Allah yang Esa, Yang menciptakan dan memelihara
alam semesta, Yang memberi hidup kepada manusia, Yang menyediakan tempat dan
musim bagi manusia, kiranya lebih sesuai dengan iman semua agama. Dialog yang
dimulai dengan pengakuan bersama ini lebih menjanjikan dalam mencari titik temu
agama-agama di manapun.[11]
2.
Berbagai tanggapan atas pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena
menunjukkan bahwa percaya kepada Yesus bukanlah satu-satunya hasil dari dialog
iman. Dalam konteks pluralitas agama yang mengarah pada hidup bersama
(ekumene), maka perhatian satu dengan yang lain dan minat untuk mempelajari
agama lain diperlukan, agar kiranya terjadi transformasi pemahaman yang
mengarah pada perubahan sikap hidup dan lebih menekankan pada kesejahteraan
bersama. Bukankah salah satu aspek Injil adalah kesejahteraan secara bersama?
Jika ini terjadi, maka pemeluk agama yang satu tidak perlu berpindah
agama.
3.
Pandangan bahwa Allah tidak diam dalam kuil-kuil buatan
manusia, kiranya menyadarkan setiap agama bahwa Allah tidak dapat dikurung
dalam ajaran-ajaran masing-masing yang mengklaim kebenarannya. Allah yang sama,
yang disembah oleh semua agama, merupakan Dia yang memberikan penyataan (wahyu)
kepada semua agama, dan dengan demikian Ia ada dalam setiap agama. Wahyu Allah
yang sama itu, kemudian menjadi berbeda-beda berdasarkan tafsiran masing-masing
agama. Perbedaan itu tidak dapat dipertentangkan. Karena itu, setiap agama
hendaknya tidak tertutup, tetapi terbuka satu dengan yang lain dalam membagi
kebenaran wahyu Allah. Dengan demikian, maka akan tercipta sikap saling mengakui
kebenaran-kebenaran yang ada pada masing-masing agama
[1] Bnd. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran
Alkitab Dalam Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 53; bnd.
Wenas Kalangit, ‘Surat Galatia: Sebuah Retorika’ dalam Forum Biblika No. 8 – 1999 hlm. 29; juga Ph. E.
Satterthwaite, ‘Acts Against Background of Clasiccal Rhetoric’ dalam B.W.
Winter & A.D. Clarke (eds.), The Book of Acts in Its First Century
Setting volume I: The Book of Acts in Its Ancient Literary Setting (Grand
Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Pub. Co. & Carlisle: The Paternoster
Press, 1993) hlm. 338; juga Aristoteles, ‘Rhetoric’ dalam http://classics.mit.edu/Aristotle/rhetoric.html
[2] Satterthwaite, Op. Cit.
[3] Ibid., hlm. 341
[4] B.W. Winter & A.D.
Clarke, Op. Cit..
[5]Istilah ini dibuat oleh H. Lausberg sebagaimana yang dikutip dalam Ibid.;
bnd. http://humanities.byu.edu/rhetoric/silva.htm; aptum juga
dipahami sebagai dipertemukannya kondisi komunikasi antara teks dan pembaca.
[6] D.L. Stamps, ‘Rhetorical Criticism of The New
Testament: Ancient and Modern Evaluations of Argumentation’ in S.E. Porter
& D. Tombs, Approaches to New Testament Study (Sheffield: Sheffield
Ac. Press, 1995)
[7] Ibid., hlm. 154-155
[8] Stamps, Op. Cit., hlm. 138; dalam
menentukan langkah-langkah ini, Stamps mengutip G.A. Kennedy, New Testament
Interpretation through Rhetorical Criticism (North Carolina: University of
North Carolina Press, 1984) dan D.F. Watson, Invention, Arrangement, and
Style: Rhetorical Criticism of Jude and 2 Peter (Atlanta: Scholar Press,
1988)
[9] Didirikan oleh Epukuros (341 sM). Mengajarkan bahwa
untuk mencapai kebahagiaan, maka diperlukan sikap yang tenang, membuang segala
ketakutan dan yakin bahwa para ilah akan campur tangan dalam hidup ini. Mereka
tidak mempercayai adanya kebangkitan sesudah kematian. J.D. Douglas, dkk.
(ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I (Jakarta: YKBK/OMF, 1995)
hlm. 282-283
[10] Didirikan
oleh Zeno (335-263 sM). Mengajarkan bahwa dalam mencapai kebahagiaan hidup,
maka seseorang harus mencari hal-hal yang cocok dengan tempatnya dalam tatanan
alam semesta, dengan melakukan kebajikan yang tulus ikhlas. Douglas, dkk.
(ed.), Op.Cit. jilid II hlm.420
[11] Martin Harun, ‘Melintasi
Batas-Batas Budaya dan Agama’ dalam Forum Biblika No. 15 tahun 1999 hlm.
38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar