Bahan Khotbah
MENDENGAR DAN MENGIKUT SANG
GURU
Bacaan :
Yohanes 21:15-14
Analisis Naskah
Konteks
bacaan ini adaah rangkaian dari penampakan-penampakan Yesus kepada para murid
untuk meyakinkan mereka bahwa Ia telah bangkit. Bacaan ini pula menunjukkan
bahwa para murid sudah mulai dapat menerima dan yakin terhadap kebangkitan Guru
mereka. Ini dibuktikan dengan sarapan
yang mereka lakukan. Sementara mereka berkumpul, percakapan kemudian
terjadi antara Yesus dan Simon Petrus. Percakapan yang unik sebab Yesus
bertanya secara berulang-ulang kepada Simon Petrus, sampai-sampai Petrus merasa
sedih.
Melihat
sepintas, tidak nampak sesuatu perbedaan apapun dalam pertanyaan yang Yesus
ajukan secara berulang-ulang. Namun mari kita lihat dalam naskah aslinya:
·
Pertama kali, Yesus bertanya: “Simon, anak
Yohanes, apakah engkau mengasihi (Yun.
agapas; dari kata agape) Aku
lebih dari pada mereka ini?” Simon Petrus menjawab: “Benar, Tuhan, Engkau tahu,
bahwa aku mengasihi (Yun. filoo; dari
kata filia) Engkau.”
·
Kedua kali, Yesus bertanya kembali: “Simon, anak
Yohanes, apakah engkau mengasihi (Yun.
agapas; dari kata agape) Aku?”
Simon Petrus memiliki jawaban yang sama: ““Benar, Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku
mengasihi (Yun. filoo; dari kata filia) Engkau.””
·
Ketiga kalinya, Yesus bertanya lagi: “Simon,
anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (Yun.
fileis; dari kata filia) Aku?”
Dari
penjelasan ini nampak pemakaian kata yang berbeda yang digunakan baik oleh
Yesus maupun oleh Petrus. Pertama kali Yesus menggunakan kata agape, yang dapat dimengerti sebagai
tindakan mengasihi dengan segenap hati dan tanpa mengharapkan balasan. Sama seperti
tindakan kasih Allah kepada manusia dengan mengutus Anak-Nya datang ke dunia untuk
menebus manusia dan meyakinkan keselamatan dari Allah sedang dinyatakan bagi
ciptaan-Nya. Petrus menjawab dengan menggunakan kata yang berbeda, yakni kata filia. Inilah kasih yang dimengerti
sebagai kasih seseorang kepada
sahabatnya yang karib, sejauh kemurahan hati untuk mengasihi sahabat tersebut.
Dua kali
Yesus bertanya dan dua kali Petrus menjawab. Dua kali pun pertanyaan dan
jawaban dengan bahasa yang sama tetap digunakan. Ketiga kali, Yesus menurunkan
kadar pertanyaan-Nya, dengan menggunakan kata yang Petrus gunakan. Hal ini
kemudian membuat Petrus menjadi sedih, karena ia menyadari bahwa sebelumnya ia
menjalani pengalaman pahit, yakni melakukan kesalahan besar dengan menyangkal
sang Guru. Kini Guru datang dan bertanya, apakah Petrus mengasihi-Nya. Petrus
sadar bahwa ia tidak dapat melakukan tindakan yang dilakukan oleh Gurunya,
apalagi perasaan berdosa yang masih membayanginya. Secara psikologis, Petrus
belum siap. Karena itu ia tetap menggunakan kata filia, sejauh ia masih bisa mengasihi sang Guru.
Inilah
yang juga dipahami oleh Yesus. Bagi-Nya, Petrus masih perlu banyak belajar dari
berbagai pengalaman hidup sampai ia benar-benar dapat mengasihi sang Guru dengan
kasih yang paling dalam, yang tanpa menuntut balas. Karena itulah, Yesus
kemudian berpesan agar Petrus “menggembalakan domba-domba-Nya.” Kata
“menggembalakan” menggunakan dua kata Yunani, yakni poimainoo (ay. 15 dan 17) yang berarti “menggembalakan dengan
menjaga” dan kata boskoo (ay. 16)
yang berarti “menggembalakan dengan memberi makan.” Dua tindakan dalam proses
menggembalakan inilah kiranya dapat membuat Petrus akan semakin memahami bahwa
mengasihi Allah, bukan hanya mengasihi seperti kemurahan hati seorang sahabat
saja.
Yesus
kemudian memberi nasihat sekaligus peringatan kepada Petrus: “Sesungguhnya ketika
engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke
mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan
mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke
tempat yang tidak kaukehendaki.” Kalimat ini jelas mengingatkan kita
tentang kehidupan Petrus setelah Yesus naik ke sorga, dimana ia begitu
berapi-api dalam memberitakan Injil. Ia bahkan menjadi pemimpin para rasul dan
penatalayanan jemaat mula-mula di Yerusalem dan di Roma.
Ada suatu
kisah tentang Petrus. Tatkala Petrus telah menjadi tua dalam masa penghambatan
gereja oleh kekaisaran Romawi, terjadi penggeledahan secara ketat oleh tentara
Romawi untuk mencari para pengikut Kristus. Hal itu didengar oleh Petrus. Ia
bermaksud untuk pergi dari kota Roma. Dalam perjalanan, seseorang bertanya,
“Mau pergi ke mana, tuan?”. Ia menjadi begitu bergumul dengan pertanyaan itu.
Lalu ia memutuskan untuk kembali, karena mengingat banyaknya umat Tuhan yang
masih bertahan di kota Roma. Ia berkomitmen untuk menggembalakan mereka seumur
hidupnya. Akhirnya ia tertangkap dan dihukum mati dengan cara disalib terbalik.
Ia merasa tidak layak disalibkan sama seperti yang Gurunya alami. Petrus
benar-benar telah mengasihi Tuhannya dengan kasih yang terdalam.
Analisis Sosial
Mencermati kehidupan sosial kemasyarakatan dewasa
ini, kehidupan yang berlandaskan kasih menjadi sesuatu yang sangat mahal bahkan
sulit didapat. Manusia cenderung hidup dalam egoismenya, dengan selalu
mengajukan pertanyaan yang sama: apa yang menjadi keuntungan bagiku jika hal
itu kulakukan terhadapnya? Selalu mengharapkan balasan dari sesuatu yang
dikerjakannya untuk orang lain. Oleh karena itu pola hubungan yang terjadi
antar manusia adalah pola untung-rugi, yang memaksa manusia hanya berkawan
dengan mereka yang bersentuhan dengan kebutuhannya. Beriringan dengan hal
tersebut, apabila keinginannya terhalang oleh keinginan orang lain, maka ia
cenderung mempertahankan diri bahkan tidak segan-segan untuk berupaya
menyingkirkan pihak lain. Manusia dapat menjadi pemangsa bagi sesamanya.
Dalam lingkup terkecil, yakni keluarga, mulai
kehilangan semangat hidup dalam komunitas. Mereka telah menjadi pribadi-pribadi
yang berurusan dengan kepentingan-kepentingan sendiri. Masyarakat kota
mengandalkan kesibukan pekerjaan sebagai pegawai yang memaksanya hanya memiliki
waktu sedikit untuk anak-anak, lalu kemudian mengabaikan keinginan anak-anak
untuk bersama-sama dengan alasan kelelahan karena mencari nafkah. Masyarakat
desa yang menggantungkan kehidupannya pada pola bertani sering juga mengalami
hal yang sama; orang tua khususnya ayah sepulang dari kebun atau sawah ladang
langsung berurusan dengan kebutuhannya yang dicarinya di luar rumah, seperti
minum saguer. Pola-pola hidup seperti
inilah yang membuat jurang di antara anggota keluarga semakin melebar.
Akibatnya masyarakat menghasilkan generasi yang tidak peduli dengan orang-orang
sekitarnya; cuek dengan keadaan
sejauh itu tidak mengganggu kepentingannya.
Demikian pula daam hidup bergereja dan bermasyarakat.
Manusia semakin terkotak-kotak dalam kelas-kelas sosial yang tidak mempedulikan
sesamanya. Mereka yang sudah maju berjuang terus untuk semakin maju dalam
mengejar segala pemenuhan kepuasan hidup tanpa melihat orang lain di samping
dan belakangnya. Yang lain berupaya mengejar, namun semakin tertinggal bahkan
terlindas oleh orang lain yang juga menghendaki hal yang sama. Akibatnya jurang
perbedaan sosial dalam masyarakat menjadi semakin lebar.
Refleksi Teologis
Mendengar dan
mengikut suara sang Guru merupakan tindakan yang radikal. Benar-benar menuntut
sikap hidup yang menyingkirkan segala egoisme tadi. Ini penting mengingat
keadaan sosial yang demikian mengkhawatirkan dan tidak bersesuaian dengan Injil
Kristus. Ia datang untuk menyelamatkan umat kepunyaan-Nya. Sebagai Tuhan, Ia
rela meninggalkan ketuhanan-Nya untuk menjadi manusia bahkan mati untuk mereka.
Inilah nilai-nilai hidup yang menyingkirkan segenap kediriaannya dan solider
dengan orang lain. Gaya hidup ini hendaknya berlaku dalam keluarga, di mana
orang tua hendaknya peduli dengan perkembangan fisik, psikologis dan sosial
teologis anak. Pendidikan tentang kepedulian terhadap orang lain harus
ditanamkan sejak kecil supaya menghasilkan generasi yang berkualitas yang akan
mempengaruhi lingkungannya, gereja maupun masyarakat. Belajar dari Petrus yang
terus belajar sampai ia mengerti dengan jelas arti dan tujuan dari ajakan
Yesus, “Ikutlah Aku!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar