BACAAN: KEJADIAN 34
Dapatkah kita membayangkan perasaan Yakub ketika
diperhadapkan pada persoalan pelik dan sulit seperti kisah dalam Kejadian 34
ini? Beberapa masalah yang mendera Yakub sebagai kepala keluarga dalam bagian
ini adalah:
Pertama, Dina, anaknya yang perempuan, dibawa lari dan diperkosa
oleh Sikhem, seorang yang tidak seagama dengan keluarga Yakub.
Kedua, ketika mengurus perkawinan anaknya itu oleh karena mereka
bersedia megikuti ketentuan agama Yakub, dua anak laki-lakinya yakni Semeon dan
Lewi mengambil tindakan tanpa
sepengetahuannya, yaitu membunuh semua laki-laki di Hewi.
Ketiga, Yakub diperhadapkan dengan permusuhan oleh orang-orang
sekitar mereka yang mendengar perilaku kedua anaknya.
Jika hal ini terjadi atas
kita, apa yang akan kita lakukan sebagai seorang ayah bagi anak-anak?
Mari kita perhatikan sikap Yakub dalam menghadapi
persoalan yang menimpanya.
Ketika Yakub
mendengar Dina diperkosa, Yakub memilih diam dan menunggu anak-anaknya pulang.
Sebelum anak-anaknya pulang, Hemor, ayah Sikhem, datang kepada Yakub untuk
membicarakan mahar pernikahan dan segala ketentuan yang bersangkut paut dengan
adat istiadat. Artinya, Hemor meminang Dina untuk Sikhem dan bersedia memenuhi
segala tuntutan adat menurut Yakub. Bahkan, Hemor bersedia mengikuti ketentuan
agama dari Yakub. Melihat jalan ceritanya, agaknya Yakub akan menerima pinangan
tersebut. Tentu saja ini penting untuk menyelamatkan muka Dina sebagai seorang
perempuan dan kehormatan keluarganya. Ketika pinangan sementara terlaksana,
anak-anak Yakub pulang dan mengetahui peristiwa yang terjadi dengan Dina,
merekapun menjadi sakit hati dan marah.
Kemudian
pinangan diterima. Tapi dari sudut pandang yang berbeda. Yakub dan Hemor punya
cara pandang yang sama, yakni sebagai orang tua anak perempuan dan laki-laki,
mereka harus memikirkan masa depan anak-anak mereka yang telah salah jalan.
Sudut pandang anak-anak Yakub berbeda, mereka menerima pinangan dengan
melakukan ketentuan adat, yakni disunat. Ternyata ini hanya tipu muslihat saja.
Tidak disebutkan dalam bacaan ini, apakah Yakub mengetahui tipu muslihat
anak-anaknya.
Singkat
cerita, disunatlah semua laki-laki orang Hewi atas perintah Hemor dan Sikhem.
Ketika mereka kesakitan sehabis disunat, Simeon dan Lewi datang dan membunuh
semua laki-laki Hewi. Kemudian saudara-saudara yang lain datang dan merampas
harta benda termasuk perempuan dan anak-anak. Agaknya perilaku anak-anaknya ini
diketahui oleh Yakub. Namun Yakub tidak berbuat banyak. Bahkan cenderung diam
dan membiarkan anak-anaknya berbuat senekad itu.
Sikap “diam”
dari Yakub ini merupakan sikap sebagian besar laki-laki. Ketika menghadapi
suatu masalah apalagi yang dapat mengganggu ketentramannya, para laki-laki
cenderung diam. Dunia psikologi mengungkapkan bahwa laki-laki cenderung diam
jika bertemu dengan luka hati, perasaan tertekan, dan segala sesuatu yang
mempertanyakan kejantanan mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa laki-laki sulit
sekali menceritakan perasaannya kepada orang lain. Ia lebih memilih diam dan
tidak akan pernah menangis.
Mengapa diam?
Jawaban yang paling sederhana adalah karena kita takut. Kita takut kelemahan
kita terungkap, kita takut jangan-jangan kita gagal dalam melaksanakan sesuatu
hal atau kita takut keputusan yang kita ambil akan berakibat fatal. Kita takut
jika pada akhirnya kita menjadi tidak berdaya. Artinya, kita takut kehilangan
“kejantanan” kita di hadapan orang lain atau orang-orang terdekat kita.
Lantas, apa yang kita butuhkan sebagai seorang laki-laki?
Jawabannya sederhana, berbagi perasaan dengan orang lain. Yakub memilih diam
dan baru bersuara ketika masalah menjadi lebih besar. Bagusnya, ia berbicara
terlebih dahulu dengan anak-anaknya untuk memikirkan masa depan keluarga mereka
dalam hubungan dengan orang-orang yang berasal dari suku atau agama lain.
Hendaknya kita juga belajar dari sikap diam Yakub, yang ternyata menimbulkan
persoalan yang lebih besar lagi. Dibutuhkan kepekaan diri untuk terbuka kepada
orang lain, menceritakan perasaan-perasaan dan kekuatiran-kekuatiran kita.
Terbuka bukan hanya kepada istri tapi juga kepada anak-anak. Ini penting agar
supaya mereka bisa tahu bagaimana perasaan kita, bagaimana kekuatiran kita
untuk masa depan keluarga dan sebagainya. Supaya, sebagai seorang ayah, kita
berwibawa bukan karena kita menjaga wibawa, tetapi karena kita membagi wibawa
itu bersama mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar