Senin, 03 Oktober 2011

Renungan Untuk Para Ayah: BERSIKAP SEBAGAI AYAH

 BACAAN: KEJADIAN 34

                Dapatkah kita membayangkan perasaan Yakub ketika diperhadapkan pada persoalan pelik dan sulit seperti kisah dalam Kejadian 34 ini? Beberapa masalah yang mendera Yakub sebagai kepala keluarga dalam bagian ini adalah:
Pertama, Dina, anaknya yang perempuan, dibawa lari dan diperkosa oleh Sikhem, seorang yang tidak seagama dengan keluarga Yakub.
Kedua, ketika mengurus perkawinan anaknya itu oleh karena mereka bersedia megikuti ketentuan agama Yakub, dua anak laki-lakinya yakni Semeon dan Lewi  mengambil tindakan tanpa sepengetahuannya, yaitu membunuh semua laki-laki di Hewi.
Ketiga, Yakub diperhadapkan dengan permusuhan oleh orang-orang sekitar mereka yang mendengar perilaku kedua anaknya.
Jika hal ini terjadi atas kita, apa yang akan kita lakukan sebagai seorang ayah bagi anak-anak?
                Mari kita perhatikan sikap Yakub dalam menghadapi persoalan yang menimpanya.  
Ketika Yakub mendengar Dina diperkosa, Yakub memilih diam dan menunggu anak-anaknya pulang. Sebelum anak-anaknya pulang, Hemor, ayah Sikhem, datang kepada Yakub untuk membicarakan mahar pernikahan dan segala ketentuan yang bersangkut paut dengan adat istiadat. Artinya, Hemor meminang Dina untuk Sikhem dan bersedia memenuhi segala tuntutan adat menurut Yakub. Bahkan, Hemor bersedia mengikuti ketentuan agama dari Yakub. Melihat jalan ceritanya, agaknya Yakub akan menerima pinangan tersebut. Tentu saja ini penting untuk menyelamatkan muka Dina sebagai seorang perempuan dan kehormatan keluarganya. Ketika pinangan sementara terlaksana, anak-anak Yakub pulang dan mengetahui peristiwa yang terjadi dengan Dina, merekapun menjadi sakit hati dan marah.
Kemudian pinangan diterima. Tapi dari sudut pandang yang berbeda. Yakub dan Hemor punya cara pandang yang sama, yakni sebagai orang tua anak perempuan dan laki-laki, mereka harus memikirkan masa depan anak-anak mereka yang telah salah jalan. Sudut pandang anak-anak Yakub berbeda, mereka menerima pinangan dengan melakukan ketentuan adat, yakni disunat. Ternyata ini hanya tipu muslihat saja. Tidak disebutkan dalam bacaan ini, apakah Yakub mengetahui tipu muslihat anak-anaknya.
Singkat cerita, disunatlah semua laki-laki orang Hewi atas perintah Hemor dan Sikhem. Ketika mereka kesakitan sehabis disunat, Simeon dan Lewi datang dan membunuh semua laki-laki Hewi. Kemudian saudara-saudara yang lain datang dan merampas harta benda termasuk perempuan dan anak-anak. Agaknya perilaku anak-anaknya ini diketahui oleh Yakub. Namun Yakub tidak berbuat banyak. Bahkan cenderung diam dan membiarkan anak-anaknya berbuat senekad itu.
Sikap “diam” dari Yakub ini merupakan sikap sebagian besar laki-laki. Ketika menghadapi suatu masalah apalagi yang dapat mengganggu ketentramannya, para laki-laki cenderung diam. Dunia psikologi mengungkapkan bahwa laki-laki cenderung diam jika bertemu dengan luka hati, perasaan tertekan, dan segala sesuatu yang mempertanyakan kejantanan mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa laki-laki sulit sekali menceritakan perasaannya kepada orang lain. Ia lebih memilih diam dan tidak akan pernah menangis.
Mengapa diam? Jawaban yang paling sederhana adalah karena kita takut. Kita takut kelemahan kita terungkap, kita takut jangan-jangan kita gagal dalam melaksanakan sesuatu hal atau kita takut keputusan yang kita ambil akan berakibat fatal. Kita takut jika pada akhirnya kita menjadi tidak berdaya. Artinya, kita takut kehilangan “kejantanan” kita di hadapan orang lain atau orang-orang terdekat kita.
Lantas, apa yang kita butuhkan sebagai seorang laki-laki? Jawabannya sederhana, berbagi perasaan dengan orang lain. Yakub memilih diam dan baru bersuara ketika masalah menjadi lebih besar. Bagusnya, ia berbicara terlebih dahulu dengan anak-anaknya untuk memikirkan masa depan keluarga mereka dalam hubungan dengan orang-orang yang berasal dari suku atau agama lain. Hendaknya kita juga belajar dari sikap diam Yakub, yang ternyata menimbulkan persoalan yang lebih besar lagi. Dibutuhkan kepekaan diri untuk terbuka kepada orang lain, menceritakan perasaan-perasaan dan kekuatiran-kekuatiran kita. Terbuka bukan hanya kepada istri tapi juga kepada anak-anak. Ini penting agar supaya mereka bisa tahu bagaimana perasaan kita, bagaimana kekuatiran kita untuk masa depan keluarga dan sebagainya. Supaya, sebagai seorang ayah, kita berwibawa bukan karena kita menjaga wibawa, tetapi karena kita membagi wibawa itu bersama mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar