Pengantar
Sebenarnya saya merasa agak malu menulis segala
sesuatu yang berkaitan dengan yang namanya Bali, apapun itu. Memang saya
bersuku Bali. Tetapi saya sudah tidak dilahirkan di Bali dan, yang paling
parah, sampai tulisan ini dibuat, saya belum pernah ke Bali! Hal itu menyebabkan saya enggan mengaku orang
Bali. Lebih baik mengaku bersuku Bali dan jika ditanya dari mana, maka saya
langsung menjawab “dari Sulawesi Tengah.” Saya juga tidak mau
menyebut secara spesifik, bahwa saya berasal dari daerah bernama Parigi. Hal
itu sengaja saya sembunyikan karena ketika pertama kali tiba di Sulawesi Utara
dan menyebut bahwa saya berasal dari Parigi, orang yang bertanya langsung cengar-cengir,
senyum-senyum yang saya tidak tahu maksudnya. Baru ketika seorang teman
mengatakan bahwa di sini parigi berarti sumur, apalagi ditambah dengan dolom(ng?)
(parigi dolom-ng?) mereka seakan-akan menyindir saya. Pengantar singkat ini
mungkin akan mengarahkan kebingungan pembaca tentang budaya apa yang ada dalam
diri saya. Saya juga tidak tahu dengan pasti.
Namun demikian, ada keinginan
dalam diri saya untuk mendalami lagi budaya leluhur saya. Sebab saya mengamati
di tempat kelahiran saya di Sul-Teng, khususnya orang-orang tua yang bersuku
Bali, terdapat kecenderungan renesans,
menginginkan kembali budaya asli (atau juga kuno, klasik) mereka. Mungkin
mereka telah tersadar bahwa memelihara budaya itu baik, walaupun berada di
daerah transmigrasi. Orang Yahudi saja tetap memelihara budaya mereka di
diaspora, maka pikir saya dan tentunya juga orang-orang tua saya, mengapa
budaya Bali kami tidak dijaga? Tentu dengan tidak melupakan perkembangan
masyarakat kontemporer.
Saya katakan demikian, karena di tempat saya terdapat upaya untuk
menjembatani budaya Bali tersebut dengan (mungkin) modernitas pengaruh Eropa. Hal itu dinampakkan dengan model gereja yang
meniru arsitektur Eropa, seperti umumnya arsitektur gereja di Minahasa, tetapi
tetap tidak melupakan unsur-unsur Bali, seperti bentuk pagar, daun pintu,
mimbar, maupun simbol-simbol lainnya yang mencirikan Bali. Sehubungan dengan
hal ini, saya akan mengatakan bahwa inilah kontekstualisasi yang sedang
dijalankan, sadar atau tidak.
Dalam pergulatan ini, saya sadar bahwa pengenalan saya terhadap budaya sendiri
hanya sepenggal saja. Oleh karena itulah saya berupaya untuk memahami kembali
budaya saya sebagai orang Bali. Saya juga sadar bahwa upaya kontekstualisasi
yang sedang digiatkan oleh gereja membutuhkan pemahaman yang baik akan konteks
yang dihadapi. Konteks terdekat saya adalah keluarga Bali. Di sinilah saya
hendak membagi pengetahuan saya tentang budaya bali, khususnya dari segi
arsitektur (walaupun saya bukan arsitek), sebagai upaya untuk
mengkontekstualisasikan Injil.
Asta Kosala Kosali
Leluhur saya pada kenyataannya adalah orang
Bali yang beragama Hindu. Kakek saya juga sempat merasakan hidup sebagai orang
Bali Hindu, yang ketika itu dipersiapkan untuk menjadi pendeta Hindu (pedanda),
sebelum akhirnya menikah dan masuk Kristen. Umum dipahami bahwa setiap yang
namanya Bali pasti identik dengan Hindu. Karena itu tidaklah mengherankan
apabila walaupun sudah Kristen, nuansa Hindu itu masih terasa. Hal ini
mengantar saya pada pemahaman bahwa hinduisme dalam diri orang Bali, bukan
hanya menunjuk pada suatu agama, tapi juga sistem kebudayaan maupun world
view masyarakatnya. Itu kesan saya dari dialog-dialog yang terjadi dengan
para tua-tua Kristen Bali di tempat saya. Yang membedakan mereka dengan Hindu
hanyalah model ibadahnya. Selebihnya sama: cara bertani, bermasyarakat dan
bergaul. Sehubungan dengan ini, maka
saya mau mengatakan bahwa kebudayaan orang Bali itu berada dalam bingkai
Hinduisme. Begitu pula arsitekturnya.
Bagi orang Bali, teknik
arsitektur rumah tertuang dalam apa yang dikenal dengan asta kosala kosali,
suatu risalat arsitektur suci yang ditulis dalam huruf Jawa kuno pada daun
lontar (Bali: ental). Di dalamnya terdapat serangkaian rumus yang rinci
berkaitan dengan ukuran, letak, dan pemilihan dan penempatan jenis bangunan
secara tepat.
Dalam kosmologi Bali, dunia
dibagi menjadi tiga, yaitu dunia bawah (buhr) merupakan tempat kekuasaan
roh-roh jahat, dunia tengah atau dunia manusia (buwah) dan dunia atas
atau dunia surga (swah). Pandangan dunia seperti ini mengingatkan saya
kepada kosmologi dalam kitab Kejadian.
Kosmologi ini dipahami sebagai jagad
raya yang ditempatkan dalam paham dharma (hal-hal baik) sebagai cara
hidup agar dapat menuju moksha, tujuan akhir kehidupan, tanpa melalui
lagi proses reinkarnasi. Mokhsa dapat dicapai apabila semua hidup dalam
keselarasan dengan makhluk lain. Keselarasan inilah sikap hidup yang mulia yang
harus dijaga. Arah yang benar harus diperhatikan, sebab segala sesuatu di alam
memiliki tempat yang ideal dan karena itu harus diatur dan diserasikan. Tujuannya
adalah pencapaian keselarasan antara manusia dan lingkungannya. Inilah yang
disebut dengan jagad kecil.
Saya kembali mengatakan bahwa
kosmologi Bali memiliki kesamaan dengan kosmologi dalam Alkitab. Gunung
dipahami sebagai tempat Yang Ilahi, laut sebagai tempat yang jahat, dan dataran
antara gunung dan laut sebagai tempat manusia. Dalam asta kosala kosali,
disebutkan bahwa arah menghadap gunung (kaja) merupakan arah yang baik,
murni dan suci. Sedangkan arah menuju laut (kelod) merupakan arah yang
tidak baik, kotor dan tidak murni. Bersamaan dengan ini, arah mata angin juga
turut ambil bagian dalam mengatur tata ruang rumah orang Bali. Pusat adalah
timur-barat. Timur (kangin) merupakan arah yang suci dan barat (kauh)
merupakan arah yang kotor. Timur laut (kaja kangin) biasa dianggap
sebagai tempat yang menguntungkan. Sedangkan barat daya (kauh kelod)
merupakan tempat yang kurang menguntungkan. Mencermati ini, saya teringat
dengan keadaan kampung saya dan juga kampung tetangga, tidak ada yang menghadap
ke laut. Memang rumah-rumah di tempat saya berpatokan pada jalan raya, tetapi
rupanya hal ini tetap diperhatikan.
Acuan lain yang juga digunakan
adalah tubuh manusia. Dengan kata lain terdapat kiasan antara tubuh manusia
dengan bangunan yang ada. tempat ibadah keluarga disamakan dengan kepala, ruang
untuk menerima tamu sebagai tangan, halaman tengah sebagai pusar, tungku
sebagai kelamin, dapur dan lumbung (klumpu) sebagai kaki, dan tempat
sampah sebagai anus.
Berhubungan dengan penjelasan
ini, saya tidak tahu apakah orang yang membacanya dapat mengerti mengingat ini
adalah salah satu unsur dari budaya saya. Pada dasarnya ini adalah sarana untuk
masuk pada kedalaman teologi, khususnya penciptaan.
Budaya: Penyataan
Daya Kreatif Allah
Saya tidak tahu apakah banyak orang akan setuju
dengan judul yang saya beri pada bagian ini, bahwa kebudayaan merupakan
penyataan daya kreatifitas Allah yang mencipta, yang coba diterjemahkan dalam
kehidupan keseharian manusia di manapun tempatnya. Mengapa demikian? Hal itu
terjadi karena teologi penciptaan, yang bersumber dari Kejadian 1-2, mengantar
pada pemahaman bahwa Allah adalah Pencipta sekaligus Pengatur alam semesta ini:
dari khaos kepada ketertiban. Allah membuat segala sesuatu yang ada di alam
ini menjadi selaras dan, tentunya, baik (Ibr. tov) dalam pandangan-Nya.
Oleh karena itu manusia diharapkan untuk hidup selaras dengan alam semesta
ciptaan-Nya ini.
Choan Seng-Song mengatakan bahwa
dalam agama manusia memiliki konsentrasi energy dinamika budaya manusia serta
energi kreatif. Di sinilah dipahami bahwa agama adalah sintesis kebudayaan,
yang didalamnya terdapat persekutuan antara yang ilahi dan yang insani
terungkap dalam bentuk yang kasat mata tapi kadar yang sangat tinggi. Ini pula
yang membawa pada keyakinan bahwa dinamika budaya manusia dapat ditemukan dalam
persekutuan dengan dinamika budaya Allah yang diwujudkan dalam ciptaan-Nya.
Oleh karena itu yang terjadi dalam kebudayaan adalah Roh penciptaan Ilahi
memberi dampak kepada roh manusia untuk menerjemahkan yang sorgawi ke dalam
yang duniawi.
Spiritualitas
Arsitektur Bali: Harmoni Dalam Jagad Raya
Dari rumitnya
ketentuan asta kosala kosali, nampak spiritualitas yang hendak
ditekankan: harmoni dan keselarasan dengan alam semesta. Kesempurnaan hanya
dapat dicapai bila terjadi harmoni dalam alam ini.
Saya tidak ingin membandingkan budaya yang satu
dengan budaya yang lain. Maksud saya, hal ini berhubungan dengan teologi dalam
konteks kita bila dibandingkan dengan teologi barat yang selama ini
membumihanguskan budaya di bumi di mana mereka
menyebut diri memberitakan Injil. Mungkin, dalam proses pemberitaan
Injil itu, yang ditekankan adalah spiritualitas arsitektur Gothik dengan ciri
ke-tak-selara-san dan ke-tak-sepadan-nan. Maka, benarlah apa yang dikatakan
oleh Sam Ratulangi kepada Belanda: “benar, kamu telah memelekkan mata kami
dengan huruf, tetapi kamu juga telah mencabut kami dari akar budaya kami!”
Agaknya perlu memikirkan kembali
bagaimana cara berada kita, sebagai gereja, berkaca dari budaya kita. Saya
telah memberi contoh, bagaimana arsitektur Bali memberi nuansa keselarasan dan
harmoni dalam hidup. Kiranya ini pula yang mengantar kita untuk berefleksi
dalam konteks kita masing-masing. Konteks yang penuh dengan kekacauan,
ketidaksepadanan, bencana alam, bencana sosial, ketegangan (bukan hanya di
masyarakat, pemimpin gereja pun bertegang! Semua bertegang!).
Mungkin kita perlu
merenung dan mencari ketenangan batin dalam harmoni dengan alam. Atau kita
perlu belajar dari “rumput yang bergoyang”. Ia hidup dalam harmoni alam,
dalam gerakan tarian Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar