Minggu, 02 Oktober 2011

Apa Arti Damai?


            Sejauh yang saya tahu, kata “damai” merupakan suatu keadaan “kesejahteraan yang dihasilkan oleh ketiadaan perang.” Dalam dunia Romawi  kuno, istilah “damai” (Yun. eirene) selalu dikaitkan dengan Pax Romana, yaitu suatu semboyan yang menekankan kesatuan dan keutuhan  wilayah di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi. Dari sini, saya memahami bahwa damai merupakan istilah politik dan sosial (sesuatu yang riil atau profan).          Lukas juga menggunakan istilah damai dalam pengertian seperti itu (mis. Luk. 11:21, 14:32).
            Dengan lebih khusus, damai dalam tulisan-tulisan PB banyak dipahami dalam arti teologis, yaitu Allah sebagai sumber damai. Sebagian besar surat-surat dalam PB diawali dan diakhiri dengan ucapan salam damai dan berkat damai, yang berasal dari kasih karunia Allah. Pemahaman dalam PB bahwa Allah adalah sumber kedamaian merupakan warisan teologi Perjanjian Lama.
            Yang baru dalam PB adalah bahwa kedamaian sebagai kasih karunia Allah itu nyata dalam Yesus Kristus. Dalam cerita kelahiran-Nya, malaikat mengatakan, “damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14). Artinya, melalui kedatangan Yesus, damai sejahtera itu bukanlah suatu utopia, tapi suatu kenyataan. Damai yang berasal dari sorga itu terwujud di bumi ini dalam pelayanan Yesus.  Damai yang dibawa oleh Yesus (Pax Christi) itu berbeda dengan konsep pax Romana. Jika Romawi memaksakan kedamaian itu melalui perang, maka Yesus menawarkan kedamaian tanpa paksaan.    
            Pertanyaannya tetap sama, jika damai itu terwujud di bumi, apa isi damai itu? Ketika Yesus menyembuhkan seorang yang sakit (Luk. 7:50; 8:48), Ia berkata, “pergilah dengan selamat” (BIS: “damai”). Dari sini tampak bahwa ketika orang sakit menjadi sembuh, ia sedang mengalami damai sejahtera. Kitab Injil memang mencatat bahwa Yesus datang kepada orang-orang yang sakit, miskin, tertindas, dan sebagainya. Yesus menyebut orang yang miskin dan tertindas sebagai orang yang berbahagia, bukan karena kemiskinan dan ketertindasan mereka. Tetapi karena Allah
memperhatikan kesengsaraan mereka.
            Kemiskinan dan ketertindasan tidak dapat hanya dilihat dari tampak luarnya saja, yaitu bahwa ada orang yang miskin dan ada orang yang tertindas sebagai masalah sosial, ekonomi dan politik. Lebih dari pada itu, kemiskinan dan ketertindasan merupakan suatu lambang kemalangan dan ketakberdayaan manusia karena dosa yang telah merasuk dunia ini. Ini pula yang merusak hubungan Allah dan manusia sejak kejatuhan. Karena itu, Allah menawarkan realisasi damai melalui Yesus Kristus. Jika manusia menerimanya, maka dengan sendirinya segi sosial, ekonomi dan politik ikut dalam realisasi damai sejahtera-Nya.
            Allah dalam Yesus telah memulainya dalam pelayanan-Nya. Apakah hanya sampai di situ? Tentu tidak. Pada manusia yang telah menerima damai dari Allah, damai itu menjadi daya penggerak dan pendorong untuk mengerjakan lagi damai itu dalam dunia sekitarnya (kepada sesama manusia dan ciptaan lain). Artinya, manusia menjadi aktif sebagai pelaksana damai, yang merupakan karya Allah. Di sinilah terdapat moral baru bagi manusia, yaitu moral yang mengubah situasi keberdosaan menjadi situasi yang penuh rahmat.
            Sebagai pelaksana damai itu, manusia selalu bertanya: adakah pertentangan nilai-nilai dalam dunianya? Apakah dosa membuat ketimpangan nilai? Bagaimana membuat nilai-nilai dalam dunia itu menjadi selaras dengan nilai damai dari Allah? Doa Santo Fransiskus dari Asisi kiranya dapat membantu:
Tuhan, jadikanlah aku alat damai sejahtera-Mu, agar
di mana ada kebencian, aku membawa kasih
di mana ada perselisihan, aku membawa kerukunan
di mana ada kesesatan, aku membawa kebenaran
di mana ada kebimbangan, aku membawa iman
di mana ada putus asa, aku membawa harapan
di mana ada kegelapan, aku membawa terang
di mana ada dukacita, aku membawa sukacita

Tuhan, kiranya kami
tidak hanya ingin dihibur, tetapi terlebih ingin menghibur orang
tidak hanya ingin dimengerti, tetapi terlebih ingin mengerti
tidak hanya ingin disayangi, tetapi terlebih ingin menyayangi

            Dari hal itu, maka dapat dikatakan bahwa damai itu tidak akan terwujud jika tidak diusahakan. Jika damai hanya menjadi slogan, tanpa realisasi, benarlah apa yang dikatakan oleh Yeremia, “Mereka berkata: damai sejahtera! damai sejahtera! Tetapi damai sejahtera itu tidak ada” (Yer. 6:14).   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar