Minggu, 02 Oktober 2011

Ananias & Safira

                Apa lagi yang menarik dari kisah suami istri ini? Ceritanya sudah jelas: mereka berdua mati karena mendustai Roh Kudus. Memang benar kenyataannya seperti itu. Namun alangkah baiknya jika kita teliti lebih jauh.
Sebagai pasangan suami istri tentu saja Ananias dan Safira adalah pasangan yang kompak, baik dalam susah maupun senang, sehat atau sakit, bahkan hidup atau mati. Hal seperti ini yang dikehendaki dalam nasihat-nasihat pernikahan.
Mari kita berandai-andai peristiwa yang terjadi di antara suami istri sebelum Ananias membawa uang hasil penjualan tanah itu ke hadapan para rasul jika dikaitkan dengan zaman kita sekarang. Ketika itu, jemaat mula-mula sedang giat-giatnya saling peduli dan berbagi dengan sesama. Pasangan ini pun bermaksud demikian. Mereka ingin dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak orang mampu yang dapat membantu orang lain yang berkekurangan. Diambillah keputusan bahwa salah satu tanah milik mereka dijual dengan perencanaan seluruh uang tersebut akan dibagikan kepada saudara-saudara kristiani lain yang membutuhkan.
Transaksi dilakukan, uang pun sudah dikantongi. Entah siapa yang lebih dahulu, Ananias atau Safira, yang memulai dalam pikirannya: “ah, uang ini terlalu banyak. Lebih baik disimpan setengahnya dan setengahnya saja diberikan kepada saudara-saudara. Ini kan uang milik kami.”
Mungkin pikiran itu dimulai oleh Ananias. Sebagai suami, dialah yang berkuasa dalam rumah tangga. Apa yang dipikirkan dan dikatakannya harus diikuti oleh istri dan anak-anaknya. Dalam hal ini Safira tentu mengiyakan apa yang dikandung maksud oleh suaminya. Ia takut jangan-jangan jika menolak pendapat suaminya, ia malah dipukuli sampai babak belur. Malu sama tetangga jika ditanyakan, “kenapa pipi ibu Safira biru-biru?” Mau  melapor pada yang berwajib juga takut, sebab tidak ada yang akan menafkahi dirinya dan anak-anak.
Mungkin juga pikiran itu dimulai oleh Safira. Sebagai istri, dialah yang mengelola keuangan keluarga. Dia yang tahu dengan persis keadaan keluarga, “saat ini kami memang sedang memiliki uang. Tetapi uang itu sdah saya rencanakan untuk membeli baju untuk perjamuan nanti dan juga sofa jika pertemuan diadakan di rumah. Kan malu sama tetangga, memberi untuk orang lain bisa, tapi kursi saja tidak ada di rumah. Ah, sebaiknya ditahan sebagian. Ananias pasti akan mengerti jika dia sayang diriku.
Singkat cerita, keduanya setuju. Ditahanlah sebagian uang hasil penjualan itu, tetapi nanti harus dikatakan bahwa semua itulah uang hasil penjualan tanah. Mereka sepakat pula bahwa si suami yang membawa uang itu kepada para rasul.
Rupanya hal tersebut diketahui oleh Petrus. Mungkin diketahui dari si pembeli tanah tersebut, atau dari orang lain yang menjadi saksi pembelian, atau pula dari orang lain yang membantu mengukurnya, atau dari siapa saja. Yang jelas, jumlah keseluruhan uang hasil penjualan itu diketahui oleh Petrus. Di pihak lain Ananias mengaku bahwa semua jumlah uang itu adalah hasil penjualan tanah, tidak ada yang ditahan.
Mana yang benar: Ananias atau orang-orang lain? Tentu saja oleh bimbingan Roh Kudus keterangan dua atau tiga orang saksi lebih dipercaya dari yang lain. Petrus mengambil kesimpulan bahwa sifat Ananias dapat merusak persekutuan yang sedang tercipta baik. Petrus tahu bahwa karakter Ananias ini sama seperti karakter Yudas Iskariot, temannya dulu yang kemudian mati mengenaskan. Karakter ini adalah karakter koruptor yang menggunakan uang sejumlah sekian, kemudian ditahan setengah untuk dirinya lalu dilapor telah digunakan semuanya. Ibarat pepatah, nila setitik merusak susu sebelanga. Karakter Ananias dapat menjalar kepada orang-orang lain. Ini tidak bisa dipertahankan, karena itu harus diwaspadai dan diantisipasi.
Ananias tetap mengaku bahwa semua itulah uang hasil penjualan tanah. Akibatnya musibah terjadi: Ananias mati karena mendustai Roh Kudus, mendustai para rasul sebagai pemimpin jemaat, juga mendustai saudara-saudara seiman yang lain.
Hal yang sama juga menimpa Safira, yang telah bersekongkol dengan suaminya dalam kejahatan. Sungguh malang nasib suami istri yang mendustai Roh Kudus dan persekutuan jemaat. Hal ini menjadi pelajaran, bahwa baik suami maupun istri hendaknya selalu mengingatkan. Jika yang seorang jatuh, maka yang lain hendaknya mengangkat, bukan malah ikut jatuh bersama-sama.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar