Apa lagi yang menarik dari kisah suami istri ini?
Ceritanya sudah jelas: mereka berdua mati karena mendustai Roh Kudus. Memang
benar kenyataannya seperti itu. Namun alangkah baiknya jika kita teliti lebih
jauh.
Sebagai
pasangan suami istri tentu saja Ananias dan Safira adalah pasangan yang kompak,
baik dalam susah maupun senang, sehat atau sakit, bahkan hidup atau mati. Hal
seperti ini yang dikehendaki dalam nasihat-nasihat pernikahan.
Mari kita
berandai-andai peristiwa yang terjadi di antara suami istri sebelum Ananias
membawa uang hasil penjualan tanah itu ke hadapan para rasul jika dikaitkan
dengan zaman kita sekarang. Ketika itu, jemaat mula-mula sedang giat-giatnya
saling peduli dan berbagi dengan sesama. Pasangan ini pun bermaksud demikian.
Mereka ingin dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak orang mampu yang
dapat membantu orang lain yang berkekurangan. Diambillah keputusan bahwa salah
satu tanah milik mereka dijual dengan perencanaan seluruh uang tersebut akan
dibagikan kepada saudara-saudara kristiani lain yang membutuhkan.
Transaksi
dilakukan, uang pun sudah dikantongi. Entah siapa yang lebih dahulu, Ananias
atau Safira, yang memulai dalam pikirannya: “ah,
uang ini terlalu banyak. Lebih baik disimpan setengahnya dan setengahnya saja
diberikan kepada saudara-saudara. Ini kan uang milik kami.”
Mungkin
pikiran itu dimulai oleh Ananias. Sebagai suami, dialah yang berkuasa dalam
rumah tangga. Apa yang dipikirkan dan dikatakannya harus diikuti oleh istri dan
anak-anaknya. Dalam hal ini Safira tentu mengiyakan apa yang dikandung maksud
oleh suaminya. Ia takut jangan-jangan jika menolak pendapat suaminya, ia malah
dipukuli sampai babak belur. Malu sama tetangga jika ditanyakan, “kenapa pipi ibu Safira biru-biru?”
Mau melapor pada yang berwajib juga
takut, sebab tidak ada yang akan menafkahi dirinya dan anak-anak.
Mungkin juga
pikiran itu dimulai oleh Safira. Sebagai istri, dialah yang mengelola keuangan
keluarga. Dia yang tahu dengan persis keadaan keluarga, “saat ini kami memang sedang memiliki uang. Tetapi uang itu sdah saya
rencanakan untuk membeli baju untuk perjamuan nanti dan juga sofa jika
pertemuan diadakan di rumah. Kan malu sama tetangga, memberi untuk orang lain
bisa, tapi kursi saja tidak ada di rumah. Ah, sebaiknya ditahan sebagian.
Ananias pasti akan mengerti jika dia sayang diriku.”
Singkat
cerita, keduanya setuju. Ditahanlah sebagian uang hasil penjualan itu, tetapi
nanti harus dikatakan bahwa semua itulah uang hasil penjualan tanah. Mereka
sepakat pula bahwa si suami yang membawa uang itu kepada para rasul.
Rupanya hal
tersebut diketahui oleh Petrus. Mungkin diketahui dari si pembeli tanah tersebut,
atau dari orang lain yang menjadi saksi pembelian, atau pula dari orang lain
yang membantu mengukurnya, atau dari siapa saja. Yang jelas, jumlah keseluruhan
uang hasil penjualan itu diketahui oleh Petrus. Di pihak lain Ananias mengaku
bahwa semua jumlah uang itu adalah hasil penjualan tanah, tidak ada yang
ditahan.
Mana yang
benar: Ananias atau orang-orang lain? Tentu saja oleh bimbingan Roh Kudus keterangan
dua atau tiga orang saksi lebih dipercaya dari yang lain. Petrus mengambil
kesimpulan bahwa sifat Ananias dapat merusak persekutuan yang sedang tercipta
baik. Petrus tahu bahwa karakter Ananias ini sama seperti karakter Yudas
Iskariot, temannya dulu yang kemudian mati mengenaskan. Karakter ini adalah
karakter koruptor yang menggunakan uang sejumlah sekian, kemudian ditahan
setengah untuk dirinya lalu dilapor telah digunakan semuanya. Ibarat pepatah,
nila setitik merusak susu sebelanga. Karakter Ananias dapat menjalar kepada
orang-orang lain. Ini tidak bisa dipertahankan, karena itu harus diwaspadai dan
diantisipasi.
Ananias tetap
mengaku bahwa semua itulah uang hasil penjualan tanah. Akibatnya musibah
terjadi: Ananias mati karena mendustai Roh Kudus, mendustai para rasul sebagai
pemimpin jemaat, juga mendustai saudara-saudara seiman yang lain.
Hal yang sama
juga menimpa Safira, yang telah bersekongkol dengan suaminya dalam kejahatan. Sungguh
malang nasib suami istri yang mendustai Roh Kudus dan persekutuan jemaat. Hal
ini menjadi pelajaran, bahwa baik suami maupun istri hendaknya selalu mengingatkan.
Jika yang seorang jatuh, maka yang lain hendaknya mengangkat, bukan malah ikut
jatuh bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar