Minggu, 02 Oktober 2011

ADAKAH YANG BAIK? Sebagai Kristen Melihat Islam Dari Secuil Sisi Teologisnya dan Refleksi Terhadapnya


A. Pendahuluan
            Pada masa kini kita tidak hanya berada dalam zaman ekumene suatu agama tertentu, seperti – dalam gereja – berarti pertemuan, pergaulan dan dialog antara aliran gereja yang satu dengan aliran-aliran gereja lain. Akan tetapi juga kita juga berada dalam zaman ekumene agama-agama.[i] Dari istilah ini, terkandung makna bahwa zaman ini merupakan zaman perjumpaan, pergaulan dan dialog antara agama yang satu dengan agama yang lain.
            Hal ini diperlukan mengingat kita sedang diperhadapkan dengan kenyataan bahwa pluralitas agama adalah suatu hal yang tidak dapat disangkal. Ini adalah tantangan, bukan hanya bagi kekristenan, tapi juga agama-agama yang lain. Oleh karena itu setiap agama termasuk kekristenan diharuskan untuk mengambil sikap terhadapnya.
Disadari bahwa setiap agama mengklaim kebenarannya masing-masing. Akan tetapi hal itu tidak dapat dipaksakan kepada penganut agama lain. Jika dipaksakan, maka hal itu akan mengarah pada konflik antar agama. Yang demikian sudah terjadi di beberapa tempat di Indonesia dan memakan banyak korban jiwa dan materi. Hal ini tentu menjadi keprihatinan global. Karena itu, setiap agama hendaknya mengkaji kembali fungsi kehadirannya dalam dunia yang didiami ini, yang bertujuan untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.
Yang paling pertama dikerjakan adalah masing-masing agama melihat dan merenungkan kembali ajarannya yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memperhatikan yang lain. Agama-agama hendaknya memahami bahwa Yang Ilahi itu adalah milik semua orang. Selama ini ajaran agama telah mengurung Yang Ilahi itu dalam benteng-benteng doktrin masing-masing. Dengan kata lain universalitasnya yang Ilahi itu telah dipartikularisasi oleh agama-agama.[ii]
Jikalau seorang beragama lain mau melihat agama lain, misalnya seorang Kristen mau melihat Islam, maka Kristen yang bersangkutan harus melihat Islam dari kacamata Islam, bukan dari kacamata Kristen. Inilah pandangan yang obyektif. Jika sebaliknya, maka ia akan cederung subyektif. Karena itu, dalam tulisan ini, akan coba dilihat beberapa pandangan teologis dalam Islam dan refleksi seorang Kristen terhadapnya.

B. Beberapa Pandangan Teologis Dalam Islam
1.      Tentang Yang Ilahi: Allah
Pandangan mendasar dalam Islam tentang Yang Ilahi adalah Tauhid, yakni mengakui keesaan Tuhan dan menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Hal  ini dituangkan dengan jelas dan sederhana dalam Al-Quran, yaitu pada surat Al-Ikhlas (surat ke 112) yang terjemahannya:
1.      Katakanlah “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
2.      Allah tempat meminta segala sesuatu.
3.      Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
4.      dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dalam bahasa Arab, Tuhan disebut sebagai Allah, yang oleh agama Islam tetap menyebutnya berdasarkan lafal Arab. Nama Allah tidak memiliki bentuk jamak dan tidak dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu. Hal itu tertulis pada apa yang disampaikan dalam Al-Qur'an:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Surat Asy Syuura 42:11)
Bagi agama Islam, Allah adalah Nama Tuhan dan satu-satunya Tuhan sebagaimana perkenalan-Nya kepada manusia melalui Al-Quran:
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Surat Thaahaa 20:14)
2.      Tentang Penciptaan
Al-Quran menyatakan bahwa Allah yang menciptakan dan mengatur bumi dan langit. Jadi Dialah yang menjadi Pencipta segala sesuatu. ini juga berarti bahwa alam semesta adalah ciptaan-Nya. Allah menciptakan segala sesuatu berdasarkan kadar atau ukuran tertentu. Karena itu alam semesta ini berjalan dan berkembang mengikuti takdir-Nya, atau dengan kata lain menurut sunnah atau hukum yang telah ditentukan-Nya.
Al-quran memberi pengetahuan kepada manusia untuk menemukan kebenaran itu, sebagaimana yang tertuang dalam Surat Al Ghaasyiyah 88:17-20, yang mengatakan, “Maka apabila mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” Juga dalam Surat Al Mulk 67:3, yang mengatakan bahwa Allah “yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis…”
3.      Manusia Pertama: Adam dan istrinya
Islam mengakui bahwa pencipta manusia adalah Allah. Ia menciptakan manusia “dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (Surat Al Hijr 15:28). Manusia pertama itu diciptakan oleh Allah bersama dengan istrinya, sebagaimana yang diungkapkan dalam Surat Al A’Raaf 7:189 yang mengatakan, “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya…” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia dan pasangannya dari satu jiwa. Mereka iniah yang berkembang biak dan memenuhi bumi.
Manusia pertama itu diberi nama Adam. Tentang Adam dikatakan dalam Surat Al Baqarah 2:30, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: ‘sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” kemudian ayat 33, “Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama benda-benda ini.’ Maka sesudah setelah diberitahukannya nama benda-benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” Jadi dapat dikatakakan bahwa Adam berbeda dengan ciptaan yang lain. Kepadanya diajarkan nama-nama benda, bahkan Allah menyerahkan kepada Adam tugas sebagai khalifah (wakil) di muka bumi. Hal itu diungkapkan dalam Surat Al Baqarah 2:30, “Ingatlah ketika Tuhan-Mu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam hal ini kedudukan manusia sebagai ciptaan Allah bertujuan, pertama, agar supaya manusia itu mengabdi dan menyembah kepada Allah. Karena itu kedudukan manusia yang menyembah dan mengabdi kepada Allah dapat menjadikan manusia itu mulia dibanding ciptaan-ciptaan yang lain.
Manusia yang bernama Adam diberi pasangan (zauj). Dialah istrinya yang bernama Hawwa. Mereka kemudian ditempatkan oleh Allah untuk menempati surga. Mereka diperingatkan untuk tidak makan pohon Kekekalan. Akan tetapi syeitan atau Iblis menggoda keduanya, menyebabkan mereka mau makan buah pohon yang dilarang. Bersama dengan Iblis mereka diusir dari surga.
Kemudian Allah menerima taubat dari Adam. Untuk itulah dunia/bumi ini diciptakan agar manusia bisa berusaha dan mencari nafkah. Di dunia ini pun Adam dan Hawwa menjadi suami-istri pertama, yang kemudian menghasilan keturunan yang banyak dan menjadi bangsa-bangsa di dunia ini. Artinya, semua manusia di dunia ini berasal dari satu “nenek”.   
4.      Keselamatan
Agama Islam memandang bahwa setiap hal memiliki awal dan akhir. Awal segala sesuatu adalah penciptaan dunia ini dan akan berakhir pada hari kiamat. Di situlah keselamatan manusia akan ditentukan berdasarkan amalnya di dunia agar supaya dapat masuk surga. Oleh karena itu keselamatan manusia diusahakan oleh dirinya sendiri. Hal itu dapat dilakukan dengan mengikuti perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya. Sehubungan dengan dosa, apabila seseorang telah berbuat dosa, maka orang itu harus ingat kepada Allah dan memohon ampun atas segala dosa-dosa. Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang yang menerima taubat manusia yang melakukan dosa.

C. Refleksi Seorang Kristen
            Dalam pandangan agama Kristen yang bertolak dari kesaksian Perjanjian Lama, Allah menciptakan alam semesta ini untuk “dikuasai” oleh manusia. Agaknya agama Kristen dapat belajar dari pandangan agama Islam yang mengatakan bahwa Allah menentukan supaya manusia menjadi khalifah atau wakil-Nya di bumi ini. Adalah hal yang menarik pandangan Islam yang mengatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk memainkan peranan positif dan dinamis, yaitu sebagai khalifah Allah, utusan-Nya, wakil-Nya dan mandataris-Nya di bumi. Ia dianugerahi dengan kehendak yang bebas, dengan kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan sebagaimana mestinya.[iii]
            Lebih lanjut pengetahuan tentang agama lain dapat mengarahkan perkembangan pemikiran keagamaan ke arah dialog. Sebagai seorang Kristen kita tentu tidak akan mengatakan istilah-istilah seperti Trinitas, Pengakuan Iman Rasuli dan sebagainya, tentu akan menimbulkan ketegangan dan mungkin konflik. Hal-hal yang diakui secara bersama, seperti Allah yang Esa, Yang menciptakan dan memelihara alam semesta, Yang memberi hidup kepada manusia, kiranya lebih sesuai dengan iman semua agama. Dialog yang dimulai dengan pengakuan bersama ini lebih menjanjikan dalam mencari titik temu agama-agama di manapun.
Dalam konteks pluralitas agama yang mengarah pada hidup bersama (ekumene), maka perhatian satu dengan yang lain dan minat untuk mempelajari agama lain diperlukan, agar kiranya terjadi transformasi pemahaman yang mengarah pada perubahan sikap hidup dan lebih menekankan pada kesejahteraan bersama. Bukankah salah satu aspek Injil adalah kesejahteraan secara bersama? Jika ini terjadi, maka pemeluk agama yang satu tidak perlu berpindah agama.          
            Pemahaman tentang agama lain kiranya menyadarkan setiap agama bahwa Allah tidak dapat dikurung dalam ajaran-ajaran masing-masing yang mengklaim kebenarannya. Allah yang sama, yang disembah oleh semua agama, merupakan Dia yang memberikan penyataan (wahyu) kepada semua agama, dan dengan demikian Ia ada dalam setiap agama. Wahyu Allah yang sama itu, kemudian menjadi berbeda-beda berdasarkan tafsiran masing-masing agama. Perbedaan itu tidak dapat dipertentangkan. Karena itu, setiap agama hendaknya tidak tertutup, tetapi terbuka satu dengan yang lain dalam membagi kebenaran wahyu Allah. Dengan demikian, maka akan tercipta sikap saling mengakui kebenaran-kebenaran yang ada pada masing-masing agama


[i] Istilah yang dipublikasikan oleh E.G. Singgih, ‘Idea Umat Terpilih Dalam Perjanjian Lama: Positif atau Negatif’dalam Th. Sumartana, dkk., Dialog: Kritik & Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993), hlm. 32

[ii] Bnd. O. Schumann, Keluar Dari Benteng Pertahanan (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 1-2

[iii] Kalimat yang diungkapkan oleh Isma’il R. Al-Faruqi pada diskusi di Chambesy, Juni 1976, sebagaimana yang dikutip oleh Djaka Soetapa, Op. Cit., hlm. 20-21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar