A. Pendahuluan
Pada masa kini kita tidak hanya berada dalam zaman ekumene suatu agama
tertentu, seperti – dalam gereja – berarti pertemuan, pergaulan dan dialog
antara aliran gereja yang satu dengan aliran-aliran gereja lain. Akan tetapi
juga kita juga berada dalam zaman ekumene agama-agama.[i]
Dari istilah ini, terkandung makna bahwa zaman ini merupakan zaman perjumpaan,
pergaulan dan dialog antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Hal
ini diperlukan mengingat kita sedang diperhadapkan dengan kenyataan bahwa
pluralitas agama adalah suatu hal yang tidak dapat disangkal. Ini adalah
tantangan, bukan hanya bagi kekristenan, tapi juga agama-agama yang lain. Oleh
karena itu setiap agama termasuk kekristenan diharuskan untuk mengambil sikap
terhadapnya.
Disadari bahwa setiap
agama mengklaim kebenarannya masing-masing. Akan tetapi hal itu tidak dapat
dipaksakan kepada penganut agama lain. Jika dipaksakan, maka hal itu akan
mengarah pada konflik antar agama. Yang demikian sudah terjadi di beberapa
tempat di Indonesia dan memakan banyak korban jiwa dan materi. Hal ini tentu
menjadi keprihatinan global. Karena itu, setiap agama hendaknya mengkaji
kembali fungsi kehadirannya dalam dunia yang didiami ini, yang bertujuan untuk
kedamaian dan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.
Yang paling pertama
dikerjakan adalah masing-masing agama melihat dan merenungkan kembali ajarannya
yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memperhatikan yang lain.
Agama-agama hendaknya memahami bahwa Yang Ilahi itu adalah milik semua orang.
Selama ini ajaran agama telah mengurung Yang Ilahi itu dalam benteng-benteng
doktrin masing-masing. Dengan kata lain universalitasnya yang Ilahi itu telah
dipartikularisasi oleh agama-agama.[ii]
Jikalau seorang
beragama lain mau melihat agama lain, misalnya seorang Kristen mau melihat
Islam, maka Kristen yang bersangkutan harus melihat Islam dari kacamata Islam,
bukan dari kacamata Kristen. Inilah pandangan yang obyektif. Jika sebaliknya,
maka ia akan cederung subyektif. Karena itu, dalam tulisan ini, akan coba
dilihat beberapa pandangan teologis dalam Islam dan refleksi seorang Kristen
terhadapnya.
B. Beberapa Pandangan Teologis Dalam Islam
1.
Tentang Yang Ilahi: Allah
Pandangan mendasar dalam Islam
tentang Yang Ilahi adalah Tauhid, yakni mengakui keesaan Tuhan dan menolak segala
bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Hal
ini dituangkan
dengan jelas dan sederhana dalam
Al-Quran, yaitu pada surat Al-Ikhlas (surat
ke 112) yang terjemahannya:
1.
Katakanlah “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
2.
Allah
tempat meminta segala sesuatu.
3.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
4.
dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia.”
Dalam bahasa Arab, Tuhan disebut sebagai Allah, yang oleh agama Islam tetap menyebutnya berdasarkan lafal Arab. Nama “Allah” tidak memiliki bentuk jamak dan tidak dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu. Hal itu tertulis pada apa yang disampaikan dalam Al-Qur'an:
“(Dia) Pencipta langit dan
bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan
dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar
dan Melihat.”
(Surat Asy Syuura 42:11)
Bagi agama Islam, Allah adalah Nama Tuhan dan
satu-satunya Tuhan sebagaimana perkenalan-Nya kepada manusia melalui Al-Quran:
“Sesungguhnya Aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Surat
Thaahaa 20:14)
2.
Tentang Penciptaan
Al-Quran menyatakan bahwa Allah yang
menciptakan dan mengatur bumi dan langit. Jadi Dialah yang menjadi Pencipta
segala sesuatu. ini juga berarti bahwa alam semesta adalah ciptaan-Nya. Allah
menciptakan segala sesuatu berdasarkan kadar atau ukuran tertentu. Karena itu
alam semesta ini berjalan dan berkembang mengikuti takdir-Nya, atau dengan kata
lain menurut sunnah atau hukum yang telah ditentukan-Nya.
Al-quran memberi pengetahuan kepada manusia
untuk menemukan kebenaran itu, sebagaimana yang tertuang dalam Surat Al
Ghaasyiyah 88:17-20, yang mengatakan, “Maka apabila mereka tidak memperhatikan
unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” Juga
dalam Surat Al Mulk 67:3, yang mengatakan bahwa Allah “yang telah menciptakan
tujuh langit berlapis-lapis…”
3.
Manusia Pertama: Adam dan istrinya
Islam mengakui bahwa pencipta manusia adalah
Allah. Ia menciptakan manusia “dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk” (Surat Al Hijr 15:28). Manusia pertama itu
diciptakan oleh Allah bersama dengan istrinya, sebagaimana yang diungkapkan
dalam Surat Al A’Raaf 7:189 yang mengatakan, “Dialah yang menciptakan kamu dari
diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa
senang kepadanya…” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah menciptakan
manusia dan pasangannya dari satu jiwa. Mereka iniah yang berkembang biak dan
memenuhi bumi.
Manusia pertama itu diberi nama Adam. Tentang
Adam dikatakan dalam Surat Al Baqarah 2:30, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat lalu berfirman: ‘sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika
kamu memang orang-orang yang benar!” kemudian ayat 33, “Allah berfirman: ‘Hai
Adam, beritahukanlah kepada mereka nama benda-benda ini.’ Maka sesudah setelah diberitahukannya
nama benda-benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” Jadi dapat dikatakakan
bahwa Adam berbeda dengan ciptaan yang lain. Kepadanya diajarkan nama-nama
benda, bahkan Allah menyerahkan kepada Adam tugas sebagai khalifah (wakil) di
muka bumi. Hal itu diungkapkan dalam Surat Al Baqarah 2:30, “Ingatlah ketika
Tuhan-Mu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.”
Dalam hal ini kedudukan manusia sebagai ciptaan
Allah bertujuan, pertama, agar supaya manusia itu mengabdi dan menyembah kepada
Allah. Karena itu kedudukan manusia yang menyembah dan mengabdi kepada Allah
dapat menjadikan manusia itu mulia dibanding ciptaan-ciptaan yang lain.
Manusia yang bernama Adam diberi pasangan (zauj).
Dialah istrinya yang bernama Hawwa. Mereka kemudian ditempatkan oleh Allah untuk
menempati surga. Mereka diperingatkan untuk tidak makan pohon Kekekalan. Akan
tetapi syeitan atau Iblis menggoda keduanya, menyebabkan mereka mau makan buah
pohon yang dilarang. Bersama dengan Iblis mereka diusir dari surga.
Kemudian Allah menerima taubat dari Adam. Untuk
itulah dunia/bumi ini diciptakan agar manusia bisa berusaha dan mencari nafkah.
Di dunia ini pun Adam dan Hawwa menjadi suami-istri pertama, yang kemudian
menghasilan keturunan yang banyak dan menjadi bangsa-bangsa di dunia ini. Artinya,
semua manusia di dunia ini berasal dari satu “nenek”.
4.
Keselamatan
Agama Islam memandang bahwa setiap hal memiliki
awal dan akhir. Awal segala sesuatu adalah penciptaan dunia ini dan akan
berakhir pada hari kiamat. Di situlah keselamatan manusia akan ditentukan
berdasarkan amalnya di dunia agar supaya dapat masuk surga. Oleh karena itu
keselamatan manusia diusahakan oleh dirinya sendiri. Hal itu dapat dilakukan
dengan mengikuti perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya. Sehubungan
dengan dosa, apabila seseorang telah berbuat dosa, maka orang itu harus ingat
kepada Allah dan memohon ampun atas segala dosa-dosa. Allah adalah maha
pengampun lagi maha penyayang yang menerima taubat manusia yang melakukan dosa.
C. Refleksi Seorang Kristen
Dalam pandangan agama Kristen yang
bertolak dari kesaksian Perjanjian Lama, Allah menciptakan alam semesta ini
untuk “dikuasai” oleh manusia. Agaknya agama Kristen dapat belajar dari
pandangan agama Islam yang mengatakan bahwa Allah menentukan supaya manusia menjadi
khalifah atau wakil-Nya di bumi ini. Adalah hal yang menarik pandangan Islam
yang mengatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk memainkan peranan
positif dan dinamis, yaitu sebagai khalifah Allah, utusan-Nya, wakil-Nya dan
mandataris-Nya di bumi. Ia dianugerahi dengan kehendak yang bebas, dengan
kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan sebagaimana mestinya.[iii]
Lebih lanjut pengetahuan tentang
agama lain dapat mengarahkan perkembangan pemikiran keagamaan ke arah dialog.
Sebagai seorang Kristen kita tentu tidak akan mengatakan istilah-istilah
seperti Trinitas, Pengakuan Iman Rasuli dan sebagainya, tentu akan menimbulkan
ketegangan dan mungkin konflik. Hal-hal yang diakui secara bersama, seperti
Allah yang Esa, Yang menciptakan dan memelihara alam semesta, Yang memberi
hidup kepada manusia, kiranya lebih sesuai dengan iman semua agama. Dialog yang
dimulai dengan pengakuan bersama ini lebih menjanjikan dalam mencari titik temu
agama-agama di manapun.
Dalam konteks
pluralitas agama yang mengarah pada hidup bersama (ekumene), maka perhatian
satu dengan yang lain dan minat untuk mempelajari agama lain diperlukan, agar
kiranya terjadi transformasi pemahaman yang mengarah pada perubahan sikap hidup
dan lebih menekankan pada kesejahteraan bersama. Bukankah salah satu aspek
Injil adalah kesejahteraan secara bersama? Jika ini terjadi, maka pemeluk agama
yang satu tidak perlu berpindah agama.
Pemahaman tentang agama lain kiranya menyadarkan setiap
agama bahwa Allah tidak dapat dikurung dalam ajaran-ajaran masing-masing yang
mengklaim kebenarannya. Allah yang sama, yang disembah oleh semua agama,
merupakan Dia yang memberikan penyataan (wahyu) kepada semua agama, dan dengan
demikian Ia ada dalam setiap agama. Wahyu Allah yang sama itu, kemudian menjadi
berbeda-beda berdasarkan tafsiran masing-masing agama. Perbedaan itu tidak
dapat dipertentangkan. Karena itu, setiap agama hendaknya tidak tertutup,
tetapi terbuka satu dengan yang lain dalam membagi kebenaran wahyu Allah.
Dengan demikian, maka akan tercipta sikap saling mengakui kebenaran-kebenaran
yang ada pada masing-masing agama
[i] Istilah yang
dipublikasikan oleh E.G. Singgih, ‘Idea Umat Terpilih Dalam Perjanjian Lama:
Positif atau Negatif’dalam Th. Sumartana, dkk., Dialog: Kritik & Identitas
Agama (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1993), hlm. 32
[iii] Kalimat yang diungkapkan
oleh Isma’il R. Al-Faruqi pada
diskusi di Chambesy, Juni 1976, sebagaimana yang dikutip oleh Djaka Soetapa, Op.
Cit., hlm. 20-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar