Senin, 03 Oktober 2011

Renungan Tokoh Alkitab Untuk Pria: KOMITMEN LABAN DAN YAKUB

Bacaan  : Kejadian 31:43-55
                Perikop ini merupakan kelanjutan dari perikop sebelumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa perikop sebelumnya dan perikop yang kita baca ini memiliki hubungan sebab akibat. Artinya suatu peristiwa terjadi karena disebabkan oleh peristiwa sebelumnya.
                Perikop yang kita baca ini berisikan perjanjian antara Laban dan Yakub. Lebih tepatnya perjanjian antara mertua dan menantu laki-lakinya. Ada baiknya jika cerita ini dikisahkan dari awalnya, yakni sejak pasal 30 dari kitab Kejadian.
Kita tahu bersama bahwa awalnya Yakub melarikan diri dari kejaran Esau, kakaknya, oleh karena ia menipu kakaknya dengan cara menukar hak kesulungan Esau dengan semangkuk sup kacang merah. Ia kemudian pergi ke rumah pamannya, yakni Laban. Di sana ia bekerja selama tujuh tahun dengan maksud untuk mendapatkan Rahel, anak pamannya yang dicintainya. Namun oleh karena budaya pada waktu itu yang tidak mengizinkan adik menikah lebih dahulu dari kakaknya, maka tanpa sepengetahuan Yakub, maka Laban memberikan Lea, kakak dari Rahel. Setelah itu, sesuai perjanjian dengan Laban, Yakub bekerja lagi selama tujuh tahun untuk mendapatkan Rahel. Jadi, ada empat belas tahun Yakub bekerja ganda: untuk mertuanya dan untuk keluarganya. Kemudian, dalam rangka hormatnya kepada mertua, Yakub melanjutkan perjanjian dengan mertuanya untuk mendapatkan harta kekayaan berupa ternak selama enam tahun. Total Yakub bekerja untuk mertuanya selama 20 tahun!
Selama tahun-tahun tersebut, Tuhan memberkati Yakub oleh karena ia bekerja dengan setulus hati dan bermaksud baik. Walaupun sebenarnya ia sedang diperdaya oleh mertuanya. Mertuanya tahu bahwa di dalam pengaturan Yakub, harta kekayaannya meningkat pesat. Oleh karena itu Laban berkeinginan untuk menahan Yakub bekerja untuknya selama mungkin.
Enam tahun terakhir, ketika kesepakatan pembagian ternak sudah dibicarakan antara Yakub dan Laban, maka tampaklah bahwa kekayaan milik Yakub bertambah banyak dibanding dengan kekayaan mertuanya. Akibat hal ini maka ipar-ipar Yakub menjadi iri, jangan-jangan Yakub akan mengambil alih segala harta kekayaan milik keluarga Laban.
Perilaku tersebut diketahui oleh Yakub. Merasa terancam, Yakub berbicara dengan Lea dan Rahel, untuk segera pergi meninggalkan “penginapan mertua indah.” Pikir Yakub, seindah-indahnya rumah mertua, dari pada hidup dalam iri hati dengan ipar-iparnya, lebih baik hidup sederhana bersama istri dan anak-anaknya. Akhirnya Yakub memutuskan untuk pulang kampung.
Dalam persiapan keberangkatan, Rahel mencuri jimat sesembahan milik ayahnya. Agaknya, selama bertahun-tahun hidup dengan Yakub, ia menyadari bahwa selama ini yang dilakukan ayahnya tidaklah benar. Ia mengetahui bahwa suaminya hidup beribadah kepada Allah yang hidup, bukan pada benda-benda mati, seperti jimat ayahnya. Hal ini dilakukan Rahel tanpa sepengetahuan suaminya. Kemudian mereka pergi namun secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Laban. Berangkat dengan membawa semua harta milik mereka.
Tiga hari setelah kepergian menantu dan anak-anaknya, Laban mengejar mereka. Seteah satu minggu berlalu, barulah Laban menemukan rombongan menantunya itu. Laban marah-marah sebab Yakub pergi tanpa pamit. Akan tetapi yang lebih membuat emosi Laban meledak adalah jimat miliknya yang dicurigainya dibawa oleh Yakub. Lalu Laban menggeledah semua barang milik Yakub.
Hal ini membuat Yakub terhina. Ia merasa digeledah seperti seorang menggeledah barang-barang miliknya yang dirampok. Yakub membela dirinya dengan menceritakan berat perjuangannya bekerja untuk mertuanya. Tidak mudah bekerja selama dua puluh tahun: 14 tahun untuk mendapatkan istri dan 6 tahun untuk mendapatkan kekayaan. Bagi Yakub, tindakan penggeledahan itu bukan hanya untuk mencari jimat, tapi lebih-lebih untuk memeriksa apakah ada barang-barang milik Laban yang dibawa oleh Yakub.
Mendengar hal tersebut, emosi Laban mereda dan kemudian diikuti oleh Yakub, sehingga konflik antara mertua dan menantu yang berujung pada pertikaian menjadi berakhir. Lalu mereka berdua mengikat suatu perjanjian yang berisi dua hal penting, yakni, pertama, Yakub akan menjaga istri-istrinya yang adalah anak-anak dari Laban dan anak-anaknya yang adalah cucu-cucu dari Laban; kedua, Yakub dan Laban akan berada dalam hubungan yang damai dan tidak akan pernah keduanya bertemu dengan maksud jahat. Perjanjian iti disaksikan oleh Allah dengan membuat mezbah sebagai simbol kehadiran Allah. 
Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari hubungan Yakub dan Laban adalah:
Pertama, sikap Laban sebagai mertua agaknya sudah keterlaluan, yakni memanfaatkan tenaga menantunya. Hal ini disebabkan oleh batin Yakub yang merasa lebih diperhitungkan sebagai anak buah/budak ketimbang sebagai menantu.
Kedua, sikap Yakub untuk memilih berpisah dengan mertuanya merupakan suatu sikap kemandirian. Namun kelemahannya ialah ia tidak mempercakapkan hal tersebut dengan mertuanya. Biar bagaimanapun Laban tetap adalah mertuanya, ayah dari istrinya dan kakek dari anak-anaknya.
Ketiga, sikap Laban dan Yakub yang melakukan perdebatan merupakan cermin bahwa komunikasi yang baik antara mertua dan menantu sangat diperlukan. Ini untuk mencegah konflik yang berkepanjangan yang mungkin saja dapat berujung pada pertikaian atau ketidakpedulian mertua terhadap menantu dan sebaliknya menantu terhadap mertua. Dalam situasi ini yang sulit adalah posisi dari Lea dan Rahel: mau memilih Yakub sebagai suami mereka atau memilih Laban sebagai ayah mereka. Jadi hubungan mertua dan menantu harus didasarkan pada sikap “mari bicara” untuk memperjelas segala kesalahpahaman yang dapat saja terjadi karena kurangnya komunikasi.
Keempat, sikap Laban dan Yakub yang mau berdamai merupakan sikap seorang lelaki. Suatu sikap yang memikirkan masa depan mereka dan memahami perasaan Lea, Rahel dan anak-anak mereka. Sampai di manapun hubungan antara ayah dan anak, juga kakek dan menantu tidak dapat dipisahkan dengan cara apapun. Ini juga menjadi pelajaran berharga, bahwa sikap jantan seorang laki-laki bukanlah terletak pada prinsip “adu otot” (siapa yang kuat dia yang menang). Kejantanan itu terletak pada hikmat seseorang yang menjadi kepala suatu keluarga, yang bukan hanya memikirkan dirinya tapi juga bagaimana mengusahakan baiknya hubungan di antara anggota keluarga. Ini penting mengingat banyaknya keadaan keluarga masa kini yang tidak saling memperhatikan satu dengan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar