Bacaan : Lukas
24:36-49
Ayat Nas : Ayat 48
Kajian Naskah
Bacaan ini berada setelah kisah penampakan di jalan
ke Emaus. Dalam kisah di jalan sampai ke Emaus itu, Yesus menampakkan diri
kepada dua orang murid-Nya. Peristiwa itu tentu mengejutkan sekaligus menguatkan
keyakinan para murid bahwa Yesus bahwa Guru mereka telah bangkit. Suasana
bingung dan bertanya-tanya tentu menyelimuti sebagian besar murid oleh karena
mereka belum mengalami secara langsung peristiwa yang terjadi atas kedua teman
mereka.
Kini ketika mereka sedang membicarakan hal
mengejutkan itu, Yesus tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka dan mengucapkan
salam, “Damai sejahtera bagi kamu!” Inilah ucapan salam yang mengharapkan agar
yang diberi salam itu merasa tenang, aman, nyaman dan makmur, sebagaimana
maksud dari kata damai sejahtera (Yun.
eirene). Harapan akan hal tersebut ternyata malah berbanding terbaik. Para
murid ternyata menjadi terkejut dan takut: apakah ini hantu? Mereka menjadi
bingung juga ragu tentang kenyataan di hadapan mereka.
Melihat keadaan yang kurang nyaman itu, Yesus
kemudian meyakinkan mereka bahwa Dialah itu. Pada dasarnya sikap bertanya-tanya
dengan penuh keraguan di kalangan para murid itu mencerminkan sikap orang
Kristen yang menjadi alamat penerima Injil Lukas. Keragu-raguan, yang dalam
bahasa Yunaninya menggunakan kata dialogismos,
sebenarnya menunjukkan sikap yang mempertanyakan kebenaran sesuatu. Dalam
hal ini mereka mempertanyakan apakah Yesus benar-benar bangkit; apakah sas sus
yang berkembang itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ini sekaligus
menggugat intisari iman Kristen yang berdasar pada keyakinan Yesus yang
bangkit.
Keraguan para murid tersebut dijawab oleh Yesus
dengan membuktikan kebangkitan-Nya, yakni
pertama, tangan dan kakinya yang berbekas paku dan tubuh yang berdaging dan
bertulang. Dalam budaya pada waktu itu ada keyakinan bahwa yang namanya hantu,
pasti tidak memiliki daging dan tulang; hanya berupa bayangan saja. Dalam
budaya timur, ada kepercayaan bahwa hantu tidak menjejakkan kakinya di tanah.
Dapat saja pada waktu itu Yesus menjejakkan kakinya di tanah untuk menguatkan
bukti bahwa tubuhnya yang bangkit itu bukanlah hantu.
Kedua, Yesus membuktikannya dengan makan sepotong ikan goreng.
Hantu tentu saja tidak melakukan aktivitas itu, seperti halnya manusia.
Kedua hal inilah yang secara kasat mata membuktikan
peristiwa ajaib yang luar biasa tentang kebangkitan Yesus itu. Namun di atas
semuanya itu ada suatu karya besar yang sedang terjadi, yakni penggenapan
nubuat kitab suci tentang Mesias yang berkarya untuk mengampuni dosa manusia.
Ditegaskan bahwa dalam nama-Nya berita tentang pertobatan (Yun. metanoia) dan pengampunan dosa (Yun. aphesis) harus disampaikan kepada semua
orang. Istilah metanoia pada dasarnya
berarti perubahan seantero akal dan budi dari yang salah kepada yang baik.
Sedangkan istilah aphesis merupakan
suatu kata yang diambil dari dunia pemasyarakatan, tatkala seorang tahanan
mendapat pengampunan (remisi). Dengan demikian esensi yang paling utama dari
kebangkitan Yesus bukan hanya terpaku pada tubuh yang bertulang daging atau
makan saja atau pula kubur yang kosong.
Bukti selanjutnya dari kebangkitan Yesus adalah para
pengikutnya yang diharapkan dapat menjadi saksi peristiwa itu. Istilah saksi
menggunakan kata martus yang
berpadanan dengan kata martir. Jadi dalam hal ini bukanlah saksi dusta atau
rekayasa, tetapi saksi yang benar-benar rela mempertahankan kebenaran
kesaksiannya itu di hadapan semua orang. Keterangan inilah yang membuat inti
iman Kristen itu tetap dipegang oleh semua orang Kristen di dunia ini.
Analisis Sosial
Bukti yang paling nyata dari kebangkitan Yesus adalah
orang Kristen di segala tempat dan sepanjang zaman. Siapapun dia yang menjadi
Kristen (pengikut Kristus) berada pada suatu keharusan iman, yakni bersaksi
tentang Yesus dan kebangkitan-Nya. Karena itu, orang Kristen merupakan saksi
hidup dari suatu peristiwa pada masa silam.
Ini adalah
suatu hal yang unik. Kekristenan merupakan suatu situasi di mana intisari
imannya diturunalihkan dari generasi yang satu ke generasi sesudahnya. Hal
itulah yang selalu dilanjut-lanjutkan sehingga iman Kristen dapat bertahan
kurang lebih dua ribu tahun.
Dalam
perjalanan sejarahnya, keyakinan iman ini digempur oleh berbagai hal baik dari luar
maupun dari dalam kehidupan komunitas Kristen. Dari luar, berbagai tantangan
yang menghadang oleh sebab kemajuan teknologi informasi dan transportasi
mengakibatkan mudahnya berbagai ajaran-ajaran baik berupa bidat ataupun
agama-agama baru merasuk dalam hidup berjemaat dengan tujuan untuk menggoyahkan
iman umat. Di lain pihak, tantangan yang lebih besar sebenarnya dibawa oleh
arus modernisme yang mengarahkan manusia untuk hidup semakin individualistis
dan tidak memerlukan pihak lain. Kehidupan dalam komunitas lambat laun menjadi dianggap
sebagai suatu slogan yang hanya dimiliki oleh kaum lemah.
Dari dalam,
sikap keragu-raguan dari sebagian umat membuat iman dalam dirinya semakin lama
semakin lemah. Kemudian ia didorong untuk lebih mengikuti kehendak dunia ini
dan berkompromi dengan gaya hidup modern tadi. Ia menjadi malas ke persekutuan
ibadah, sebab hal itu dianggap membuang waktu, tenaga dan dananya. Kaum muda
cenderung mengkompromikan imannya dengan cinta eros maupun gemerlapnya tawaran
hedonisme (Yun. hedone: kenikmatan).
Penerapannya
Gejala-gejala kemasyarakatan merupakan tantangan iman
dewasa ini. Kita harus tanggap menghadapi derasnya arus modern yang menerjang
kita. Sesuatu bisa nampak manis tapi sesungguhnya mengandung racun yang
membunuh pelan-pelan seluruh sendi-sendi kehidupan umat. Karena itu diperlukan
kejernihan pikiran dan hikmat untuk membedakan segala sesuatunya. Ibarat
pepatah pahit jangan langsung dimuntahkan
dan manis jangan langsung ditelan. Allah telah memberi kita kuasa dari tempat
tinggi untuk tetap berpegang pada keyakinan iman pada-Nya.
Tantangan
demi tantangan dapat saja datang menghadang. Namun bila benteng iman yang telah
dibangun sekian tahun dalam masa hidup setiap pribadi umat kokoh maka tidak
akan ada yang dapat menghancurkannya. Berbagai tawaran dunia ini tidak akan
menjadi biang keragu-raguan umat apalagi kemudian menyangkali imannya.
Karena itulah
diperlukan kerja sama banyak pihak dalam rangka pemeliharaan iman. Ini bukan
hanya tugas pendeta, penatua, diaken atau guru-guru agama saja. Ini juga
merupakan tugas setiap orang Kristen dalam hubungannya dengan sesama Kristen
lain. Iman dapat menjadi konsumsi tiap-tiap orang; urusannya pribadi. Akan
tetapi iman juga dapat bertumbuh subur jika berada dalam suatu kehidupan
bersama dengan orang lain dalam imannya.
Nub
BalasHapusNub
BalasHapus