Senin, 03 Oktober 2011

“KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL”

Retorika Paulus Di Atena Sebagai Upaya Kontekstualisasi Dalam Pluralisme Agama

A.    Pengantar
Ketika membaca Alkitab, maka pertanyaan mendesak yang hendak dijawab oleh pembacanya adalah a) apa itu teks? dan, b) apa maknanya? Dari sinilah penafsiran terhadap Alkitab dimulai. 
            Pada dasarnya tujuan penafsiran Alkitab dirumuskan dengan sangat baik oleh kalangan Katolik melalui Komisi Kitab Suci Kepausan. Dikatakan, ““… Gereja tidak hanya memandang Alkitab sebagai suatu kumpulan dokumen tentang asal usulnya. Gereja menerima Alkitab sebagai Sabda Allah yang ditujukan baik kepada dirinya sendiri maupun kepada seluruh dunia sekarang ini. Keyakinan ini berasal dari iman, lalu mengarah kepada karya untuk … menginkulturasikan pesan-pesan Alkitab …” Tujuannya jelas: menginkulturasikan pesan-pesan Alkitab, tentunya dalam konteks pembacanya.
            Tulisan ini bermaksud untuk mendekati teks Alkitab, khususnya Kisah Para Rasul, melalui langkah-langkah tafsir agar supaya didapat suatu pesan dalam rangka berteologi gereja dalam konteks tertentu. Berteologi gereja dalam konteks itulah yang kalangan Katolik gemar menyebutnya dengan istilah inkulturasi dan kalangan Protestan lebih menyukai istilah kontekstualisasi. 
            Teks yang dipilih untuk dijadikan bahan tafsir adalah Kisah Para Rasul 17:16-34. Dalam teks ini ditemukan bagaimana Paulus mengabarkan Injil di Atena, pusat kebudayaan Yunani. Melalui metode retorika, ia berhasil menarik perhatian dan minat orang Atena terhadap Injil. Tentu sebelum berpidato di hadapan cendekiawan Atena, terlebih dahulu ia telah mempelajari konteks Atena. Teks ini dapat mengantar pembaca pada masa kini tentang metode kontekstualisasi yang terdapat dalam Alkitab, yang tentunya merangsang untuk upaya kontekstualisasi dalam konteks kini dan di sini. 
B.     Pendahuluan
Kisah Para Rasul adalah jilid dua dari buku karya Lukas. Jilid pertama adalah Injil Lukas. Yang menarik dari dua karya ini adalah adanya kalimat pembuka di awal tulisan yang menyebutkan bahwa tulisan ini ditujukan atau lebih tepatnya didedikasikan kepada seorang yang bernama Teofilus (Luk. 1:1; Kis. 1:1). Menurut umumnya anggapan, Teofilus adalah seorang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, khususnya dalam bidang pemerintahan Romawi. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata yang sama, yaitu “yang mulia” kepada Teofilus dan dikenakan pula kepada gubernur Feliks ( Luk. 24:2) dan Festus (Luk. 26:25).
Yang menarik dari karya Lukas ini adalah kenyataan bahwa hanya Lukas saja yang mencantumkan semacam kata pengantar dan sekaligus penerima karyanya ini. Oleh karena pembacanya adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, tentu saja dia menyiapkan tulisannya dengan sangat baik. Ia bahkan mengatakan bahwa dalam menyusun kisahnya tentang Yesus dan tentang tindakan para rasul dalam menyebarkan Injil, terlebih dahulu ia menyelidiki peristiwa itu dengan saksama melalui berbagai sumber pada waktu itu (Luk. 1:3). Tujuannya adalah: “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar” (Luk. 1:4). Dari sini dapat dipahami bahwa mungkin saja Teofilus adalah seorang yang baru percaya, yang perlu mendapat penjelasan yang logis tentang iman Kristen. Sedangkan Lukas adalah seorang cendekiawan yang sedang meyakinkan seorang “murid” bernama Teofilus.
Dalam rangka proses pembelajaran untuk meyakinkan itu, maka Lukas menyiapkan karya yang tentunya harus menggunakan bahasa yang baik dan bermutu, yang disesuaikan dengan konteks “keningratan” Teofilus. Bagi Lukas, karyanya itu merupakan sarana komunikasi persuasif dalam rangka pencapaian tujuan itu. Apabila fungsi Injil Lukas dan Kisah Para Rasul dilihat dari kacamata ini, maka terbukalah peluang untuk melihat karya Lukas ini dari sudut pandang yang lain.
Sudut pandang yang dimaksud adalah mendekati teks Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul dari sisi retorika. Hal ini bukanlah upaya yang mengada-ada, sebab dalam masa Perjanjian Baru retorika memainkan peran yang tinggi dalam komunikasi lisan maupun tulisan di antara para cendekiawan pada masa itu. 
C.    Retorika Dalam Dunia Yunani Romawi Klasik
Umumnya retorika (r`htorikh,) dipahami sebagai “seni mempergunakan bahasa dalam merangkai wacana untuk tujuan persuasif agar supaya pendengar atau pembaca menangkap maksud dari pembicara atau penulis.”[1] Dalam retorika, ada yang disebut dengan retorika primer dan ada pula yang disebut retorika sekunder. Retorika primer dipahami sebagai seni berbicara di hadapan publik sebagai bagian dalam hidup sosial kemasyarakatan untuk tujuan persuasif, sedangkan retorika sekunder dipahami sebagai penggunaan teknik-teknik retorika primer dalam tulisan-tulisan, seperti tulisan-tulisan sejarah, filsafat, drama, puisi dan sebagainya.[2]
Retorika pada mulanya berkembang dan kemudian mendapat tempat khusus dalam dunia pendidikan Yunani semasa demokrasi menjadi bagian yang penting dalam sistem pemerintahan mereka. Ketika Helenisasi digiatkan oleh pemerintah Romawi yang berimbas pada pengadopsian dan penerapan gaya pendidikan Helenis pada sistem pendidikan Romawi, maka retorika pun mendapat perhatian penting. Hal ini dibuktikan dengan adanya aturan bahwa ilmu retorika menjadi syarat dasar bagi pendidikan tinggi di Romawi. Karenanya banyak kalangan, seperti guru, pengacara, pejabat pemerintah, pejabat sipil dan juga para sastrawan, selain belajar ilmu filsafat, mereka juga membekali diri dengan ilmu retorika dalam pendidikan formal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siapapun yang berpendidikan di wilayah kekasisaran Romawi pasti mengenal dengan baik ilmu retorika baik praktis maupun teoritis.[3] Karena pengaruh yang demikian luas, maka bukanlah hal yang mengejutkan apabila sebagian besar sesuatu yang hendak disampaikan kepada publik baik lisan maupun tulisan sangat dipengaruhi oleh kaidah-kaidah retorika.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa Lukas adalah seorang cendekiawan, yang tentunya terpelajar, yang juga menulis kisah kebenaran iman Kristen kepada seorang yang terhormat, pasti mengenal dengan baik seluk beluk retorika. Studi tentang retorika Yunani Romawi klasik telah menempatkan karya-karya Lukas, khususnya pidato-pidato dalam Kisah Para Rasul, dalam bingkai retorika.[4]   
D.    Kerangka Tafsir Retorika
Strategi pendekatan retorika untuk teks-teks Yunani Romawi klasik disebut aptum.[5] Dalam retorika primer, istilah ini menjelaskan hubungan antara pembicara (ήτωρ, rhētōr, orator), apa yang dikatakan/pidato retorikanya, dan pendengar. Dalam retorika sekunder, dapat dikatakan bahwa aptum berhubungan dengan hubungan antara penulis, teks, dan pembaca. Hubungan-hubungan itu dapat dibagi lagi menjadi: hubungan antara pembicara/penulis dengan isi pembicaraan/teks, hubungan antara pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca, dan hubungan antara isi pembicaraan/teks dengan pendengar/pembaca.[6]
Dalam aptum terjadi perjumpaan antara penulis/pembicara dengan pendengar/pembaca melalui yang dibicarakan/teks yang ditulis. Hubungan-hubungan ini nampak dalam apa yang disebut dengan konteks intertekstual, yaitu bagaimana  yang dibicarakan/teks itu diciptakan dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendekati dan “membujuk” serta menyentuh perasaan pendengar/pembaca. Di sini diperlukan kemampuan analisis dan evaluasi dari akibat yang ditimbulkan dari suatu komunikasi retorika.[7]              
Di samping aptum, dalam retorika Yunani Romawi klasik ada juga tiga hal yang sangat menentukan tingkat kepersuasifan suatu retorika, yaitu apa yang disebut oleh Aristoteles dengan ethos, logos, dan pathos. Ethos berhubungan dengan karakter moral dan aspek lain dalam diri si pembicara/penulis yang menentukan kredibilitasnya sebagai seorang rhētōr. Logos merujuk pada yang dibicarakan/teks yang ditulis sebagai retorika: cara atau teknik pengungkapan dan penyajian argumen, seperti teknik kalimat induksi atau deduksi. Sedangkan pathos berkaitan dengan reaksi atau tanggapan emosional dari pendengar atau pembaca. Dalam menganalisis pembicaraan/teks logos perlu dibedakan antara argumentasi (verba) yang terkandung dalam ide dan presentasinya (res) sebagai teknik berbicara (logôn techne). Oleh karena itu pendekatan retorika juga berhubungan dengan kemampuan menjelajah berbagai variasi penyampaian argumen maupun presentasi retorika dalam kaitan dengan aptum.
Masih dalam kaitan dengan teori retorika Yunani Romawi klasik, teknik berbicara (logôn techne) memiliki pola dasar sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ahli retorika klasik, seperti Aristoteles, Cicero dan Quintilian, yaitu exordium, naratio, confirmatio, dan conclusio. Namun demikian, pola dasar ini sering dikembangkan menjadi enam bagian yang saling berhubungan, yaitu:
a.       Exordium (pendahuluan): bagian ini bermaksud untuk menyatakan situasi atau kasus, yakni sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya ketegangan atau perdebatan. Tanpa kasus ini, bisa jadi tak akan ada persoalan. Lalu oleh karena tidak ada masalah, maka pidato retorik tidak akan ada.
b.      Narratio (narasi): maksud bagian ini adalah untuk memaparkan fakta. Di sini dikemukakan kembali situasi yang melatarbelakangi hal yang dibicarakan itu. Sekalipun berfungsi demikian, isi bagian ini juga bersifat persuasif.
c.       Propositio: bagian ini memperjelas apa yang tertuang dalam narasi. Dengan kata lain, merupakan ringkasan narratio, sekaligus juga persiapan untuk masuk ke bagian berikutnya, yakni probatio.
d.      Probatio (bukti): inilah bagian hakiki pidato retorik. Di sini pembicara memaparkan argumentasi. Untuk maksud itu, ia menyediakan bukti-bukti dan menguraikan contoh-contoh menurut strategi-strategi yang biasa dan umum berlaku.
e.       Confutatio: maksud bagian ini adalah menunjukkan dengan bukti apa yang salah dalam rangkaan argumentasi yang dikemukakan oleh pihak lawan. Karena itu, isi bagian ini umumnya bersifat negatif. 
f.       Conclusio: bagian ini merupakan bagian paling akhir dari pembicara untuk mengingatkan pendengar tentang kasus yang sedang dibicarakan. Karena itu, penggunaan kata-kata dalam bagian ini diusahakan sedemikian rupa agar dapat menimbulkan sentuhan emosional sekuat mungkin bagi orang yang mendengarnya. Bagian ini bisa dibagi lagi menjadi: peringatan, pernyataan mengenai akibat dari keputusan, dan nasihat.
Dalam suatu retorika Aristoteles membagi tiga tipe retorik yang disesuaikan dengan suasana penyampaiannya (genera causarum), orientasi waktunya, tujuannya dan sisi-sisi yang saling bertentangan yang menjadi perhatiannya. Tipe-tipe itu adalah:
a.       Tipe yudisial (judicial/forensic), yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana pengadilan. Orientasi waktu dari tipe ini adalah masa lampau, yang memiliki sisi “tuduhan” dan “pembelaan. Hal yang dibahas adalah masalah keadilan dan ketidakadilan.
b.      Tipe deliberatif (deliberatife/legislative), yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana rapat. Orientasi waktunya adalah masa depan, yang memiliki sisi “bujukan” dan “larangan. Hal yang dibahas adalah masalah baik/layak atau tidak baik/layak; atau menguntungkan/berguna atau tidak menguntungkan/berguna.
c.       Tipe epideiktis (epideictic/ceremonial/demonstrative), yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana perayaan atau seremoni. Orientasi waktunya adalah masa kini, yang memiliki sisi “pujian” dan “celaan. Hal yang dibahas adalah sifat yang baik atau buruk.
Umumnya para ahli menyetujui bahwa terdapat lima langkah tafsir dalam pendekatan retorika, yaitu:[8]
a.       Menetapkan unit retorika, baik unit retorika yang dapat berdiri sendiri maupun keseluruhan kitab yang dipandang sebagai suatu retorika.
b.      Menentukan situasi retorika, seperti orang-orang yang berperan (pembicara/orator dan pendengar), peristiwa-peristiwa dan hal-hal lain yang dapat membuat terjadinya suatu pidato retorika.
c.       Menentukan jenis retorika (yudisial, deliberatif, atau epidektis).
d.      Menganalisa retorika (aptum) melalui ethos, logos dan pathos; kemudian logos (lo,goj) dianalisis dari daya tarik penyampaian argumen (penyusunan suatu pidato retorika menurut komponen-komponen retorika, seperti exordium (pendahuluan), naratio (pemaparan fakta), divisio (penegasan naratio), probatio (pemaparan argumen), confutatio (membuktikan kesalahan lawan), dan peroratio (penutup).
e.       Mengevaluasi keefektifan retorika melalui tanggapan pendengar terhadap argumen orator.

E.     Tafsir Retorika Kisah Para Rasul 17:16-34
1.      Unit Retorika
Dalam pendekatan retorik, penting untuk membatasi bagian atau unit retorika. Salah satu pidato retorika dalam kitab Kisah Para Rasul adalah pidato rasul Paulus di Areopagus (17:22b-31). Akan tetapi pidato ini tidak dapat berdiri sendiri jika tidak memperhatikan konteks teksnya secara keseluruhan. Konteks teks yang lebih luas dari bagian ini tentu saja kitab Kisah Para Rasul secara keseluruhan dari pasal 1 sampai pasal 28. Kemudian dibatasi lagi dengan menekankan perhatian pada bagian kedua dari kitab Kisah Para Rasul yang mengarahkan ceritanya pada pemberitaan Injil oleh Paulus dan teman-temannya kepada orang-orang bukan Yahudi.
Mencermati pidato retorik dengan lebih cermat, maka didapati bahwa pidato Paulus di Areopagus itu terjadi di Atena. Informasi itu dapat ditemukan dalam 17:16a, “…sementara Paulus menantikan mereka di Atena…” yang merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya (17:15, “…orang-orang yang mengiringi Paulus menemaninya sampai di Atena, lalu kembali dengan pesan kepada Silas dan Timotius, supaya mereka selekas mungkin datang kepadanya…). Dengan demikian, batas awal untuk menentukan unit retorika pidato ini adalah 17:16.
Kemudian dalam 18:1 dikatakan, kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus... Keterangan ini membuktikan bahwa Paulus telah berpindah tempat untuk memberitakan Injil dari Atena ke Korintus. Dengan demikian bagian sebelumnya (17:34) merupakan akhir dari kisah tentang pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena. Jadi, batas akhir untuk menentukan unit retorika adalah 17:34.
2.      Situasi Retorika
Yang dimaksud dengan situasi retorika adalah mengidentifikasi orang-orang yang turut terlibat dan berpengaruh sehingga pidato itu terjadi, juga peristiwa-peristiwa yang terjadi yang mendahului pidato retorika itu. Kisah Para Rasul 17:16-21 dapat menunjukan situasi yang melatar belakangi terjadinya pidato Paulus di Areopagus. Ketika itu, Paulus sedang menantikan kedatangan Silas dan Timotius yang masih berada di Berea (17:14-15). Sebelumnya ketiga orang ini mengabarkan Injil di Berea, tetapi terjadi masalah dengan orang Yahudi dari Tesalonika yang tidak suka dengan pemberitaan Injil oleh Paulus. Akibatnya, Paulus pergi ke Atena, sedangkan Silas dan Timotius masih di Berea.
Sementara menantikan Silas dan Timotius di Atena, Paulus merasa sedih karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala (kateidoolon, 17:16) yang disembah oleh penduduk Atena. Setelah mendapat pemandangan seperti itu, Paulus bertukar pikiran bukan hanya dengan orang Yahudi (tentunya di sinagoga), tapi juga dengan siapa saja di pasar (agora), tempat yang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga untuk kehidupan umum dan tempat mengulas persoalan filsafat dan agama (17:17).
Pemberitaan Injil oleh Paulus mendapat (salah) tanggapan dari beberapa filsuf-filsuf Epikuros[9] dan Stoa[10], sebab mereka menganggap bahwa Paulus memberitakan sesuatu ajaran yang asing di telinga mereka. Ajaran yang asing itu adalah pemberitaan Paulus tentang Yesus dan kebangkitan-Nya (anastasis). Ada yang menganggapnya sebagai pembual atau peleter yang memberitakan ajaran kebangkitan yang tidak masuk akal – karena para pendengarnya, terlebih kaum Epikuros, tidak mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian. Yang lain salah sangka, karena menganggap Paulus menyebarkan adanya dewa-dewa baru yang asing bagi mereka. Yang pertama adalah dewa Yesus dan yang kedua adalah dewi Anastasis (17:18). Oleh karena rasa penasaran tentang ajaran baru itu, maka mereka mengundang Paulus untuk menjelaskan lebih dalam lagi apa yang sedang diberitakannya itu di Areopagus, yaitu suatu tempat berkumpul para anggota dewan sipil yang membahas masalah filsafat dan agama. Mereka membawanya bukan untuk mengadilinya, tetapi karena ingin tahu tentang ajaran Paulus (17:19-21).
3.      Eksposisi Retorika
Dengan memakai bentuk retorika deliberatif, Paulus mendekati masyarakat beragama di Atena. Ia memulai pidatonya (exordium) dengan mengambil hati para pendengar: “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.” (17:22). Ada catatan penerjemahan dalam bagian ini, yaitu istilah deisidamonterous harusnya diterjemahkan dengan “sangat beragama” tanpa tambahan “kepada dewa-dewa.” Bentuk plural kata itu menunjukkan pluralitasnya masyarakat yang beragama, bukan pluralitasnya sesembahan (Yang Ilahi). Ini menunjukkan bahwa Paulus sangat menghargai ibadah orang Atena. Walaupun memang sebelumnya Paulus bersedih karena masyarakat beragama di Atena merealisasikan cara beragama itu melalui patung-patung (17:16).
      Paulus kemudian menceritakan (narratio) bahwa ia melihat objek-objek ibadah di tempat-tempat pemujaan/ibadah mereka (sebasmata; 17:23a). Di sana juga ia menemukan sebuah mezbah dengan tulisan: “Kepada Allah yang tidak dikenal.” Bentuk tunggal menunjukkan adanya monoteisme di Atena. Selanjutnya Paulus mengemukakan (propositio) bahwa Allah yang tidak mereka kenal, itulah yang diberitakan olehnya agar supaya mereka mengenal Allah itu (17:23b).
      Bagian selanjutnya, Paulus menguji dan membuktikan (probatio) apa yang menjadi propositio tadi. Ia menunjukkan: pertama, Allah, yang adalah Sang Pencipta alam semesta, juga Tuhan langit dan bumi tidak tinggal dalam kuil/tempat ibadah yang dibuat oleh tangan manusia (17:24), Dia yang adalah Pemberi dan Pemelihara hidup tentu tidak perlu dihidupkan dan dilayani dengan korban persembahan atau sesajen dari manusia (17:25). Kedua, bahwa Allah membuat seluruh umat manusia dari satu orang saja, yang kemudian menentukan ruang dan waktu bagi mereka, dengan tujuan agar kiranya manusia mencari dan menemukan Dia (17:26-27b). Ketiga, Paulus memakai dukungan dari dua filsuf Yunani yang memiliki pandangan tentang Yang Ilahi, yaitu Epimenides (VI sM), yang memahami bahwa Allah sangat dekat dengan manusia, karena ia menyadari bahwa manusia hidup, bergerak dan ada di dalam Allah (17:27b-28); filsuf berikutnya, yaitu Aratos – yang menulis buku Phainomena dan merupakan sesepuh kaum Stoa – yang meyakini bahwa manusia berasal dari keturunan Allah (17:29). Karena berasal dari keturunan Allah, maka manusia tidak boleh membuat patung-patung Allah (17:30).
Pidato Paulus kemudian ditutup dengan peroratio. Dengan melihat bahwa patung-patung, Paulus mengatakan bahwa mereka sementara berada dalam zaman ketidaktahuan – di sini sengaja digunakan kata ketidaktahuan ketimbang kebodohan mengingat kesopanan bahasa retorika – tentang  Allah. Akan tetapi hal itu tidak lagi menjadi persoalan, karena Allah sedang menyerukan sekaligus memerintahkan agar mereka bertobat dengan mengubah hidupnya selama ini (17:30). Alasan penyampaian berita pertobatan itu adalah karena hari pertanggungjawaban/pengadilan telah ditentukan oleh Allah Yang Esa, yaitu pengadilan yang oleh seorang yang telah ditentukan dengan membangkitkan-Nya (17:31).
      Semua yang disampaikan oleh Paulus hingga ayat 30 pada dasarnya memiliki kesetaraan dengan pandangan pemikir Yunani dan juga pandangan kaum Yahudi dan pandangan Kristen. Arti hal ini adalah Paulus hendak memberikan suatu dasar bersama agar supaya semua orang dapat memahami apa yang sedang dibicarakan, walaupun berbeda agama.
      Walaupun demikian, dalam ayat 31 terjadi pergeseran argumen Paulus yang mengetengahkan pandangan Kristen tentang pengadilan oleh seorang yang ditentukan oleh Allah – di sini Paulus tidak menyebut nama Yesus. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kebangkitan (anastasis), yang tadinya menjadi alasan untuk bekumpul di Areopagus, tidak lagi menjadi persoalan utama, tetapi bergeser pada pengadilan sebagai pertanggungjawaban sikap manusia di dunia.       
4.      Tanggapan Pendengar Terhadap Retorika Paulus
Tanggapan terhadap pidato Paulus itu beragam: ada yang mengejek karena dianggap tidak bahwa pemberitaan Paulus dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka yang tidak mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian (17:32a), ada yang berminat dengan menghendaki pembicaraan lebih lanjut di lain kesempatan (17:32b), walaupun hal ini tidak disinggung lebih lanjut. Ada juga yang menerima pemberitaan itu, seperti Dionisius (seorang filsuf dan cendekiawan anggota majelis Areopagus), seorang perempuan bernama Damaris, dan beberapa orang yang lain.
F.     Makna Retorika Paulus Sebagai Kerangka Kontekstualisasi Injil Dalam Konteks Pluralisme Agama
Perjumpaan berita Injil dengan dunia filsafat, budaya dan agama Yunani di Atena ini  menunjukkan bahwa Injil, yang dibawa oleh Paulus, dapat menarik minat setiap orang asal menggunakan pendekatan yang sesuai dengan konteksnya. Lukas, melalui Paulus, dengan jenius mengupayakan kontekstualisasi Injil dalam konteks agama, budaya dan filsafat Yunani. Dengan mengambil konteks Atena, maka alam pikiran Yunani Romawi dapat terwakilkan.
Sehubungan dengan kerangka berteologi gereja dalam konteks pluralisme agama, belajar dari retorika Paulus di Atena, maka beberapa hal yang dapat dicantumkan adalah:
1.      Pemberitaan Injil hendaknya dimulai dengan dialog iman yang menggunakan dasar bersama. Apabila orang Kristen memberitakan Injil dengan langsung menyebut istlah-istilah seperti Trinitas, Pengakuan Iman Rasuli dan sebagainya, tentu akan menimbulkan ketegangan dan mungkin konflik. Hal-hal yang diakui secara bersama, seperti Allah yang Esa, Yang menciptakan dan memelihara alam semesta, Yang memberi hidup kepada manusia, Yang menyediakan tempat dan musim bagi manusia, kiranya lebih sesuai dengan iman semua agama. Dialog yang dimulai dengan pengakuan bersama ini lebih menjanjikan dalam mencari titik temu agama-agama di manapun.[11]
2.      Berbagai tanggapan atas pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena menunjukkan bahwa percaya kepada Yesus bukanlah satu-satunya hasil dari dialog iman. Dalam konteks pluralitas agama yang mengarah pada hidup bersama (ekumene), maka perhatian satu dengan yang lain dan minat untuk mempelajari agama lain diperlukan, agar kiranya terjadi transformasi pemahaman yang mengarah pada perubahan sikap hidup dan lebih menekankan pada kesejahteraan bersama. Bukankah salah satu aspek Injil adalah kesejahteraan secara bersama? Jika ini terjadi, maka pemeluk agama yang satu tidak perlu berpindah agama.          
3.      Pandangan bahwa Allah tidak diam dalam kuil-kuil buatan manusia, kiranya menyadarkan setiap agama bahwa Allah tidak dapat dikurung dalam ajaran-ajaran masing-masing yang mengklaim kebenarannya. Allah yang sama, yang disembah oleh semua agama, merupakan Dia yang memberikan penyataan (wahyu) kepada semua agama, dan dengan demikian Ia ada dalam setiap agama. Wahyu Allah yang sama itu, kemudian menjadi berbeda-beda berdasarkan tafsiran masing-masing agama. Perbedaan itu tidak dapat dipertentangkan. Karena itu, setiap agama hendaknya tidak tertutup, tetapi terbuka satu dengan yang lain dalam membagi kebenaran wahyu Allah. Dengan demikian, maka akan tercipta sikap saling mengakui kebenaran-kebenaran yang ada pada masing-masing agama

              


[1] Bnd. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab Dalam Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 53; bnd. Wenas Kalangit, ‘Surat Galatia: Sebuah Retorika’ dalam Forum Biblika  No. 8 – 1999 hlm. 29; juga Ph. E. Satterthwaite, ‘Acts Against Background of Clasiccal Rhetoric’ dalam B.W. Winter & A.D. Clarke (eds.), The Book of Acts in Its First Century Setting volume I: The Book of Acts in Its Ancient Literary Setting (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Pub. Co. & Carlisle: The Paternoster Press, 1993) hlm. 338; juga Aristoteles, ‘Rhetoric’ dalam  http://classics.mit.edu/Aristotle/rhetoric.html   
[2] Satterthwaite,  Op. Cit.
[3] Ibid., hlm. 341  
[4] B.W. Winter & A.D. Clarke, Op. Cit..
[5]Istilah ini dibuat oleh H. Lausberg sebagaimana yang dikutip dalam Ibid.; bnd. http://humanities.byu.edu/rhetoric/silva.htm; aptum juga dipahami sebagai dipertemukannya kondisi komunikasi antara teks dan pembaca.    
[6] D.L. Stamps, ‘Rhetorical Criticism of The New Testament: Ancient and Modern Evaluations of Argumentation’ in S.E. Porter & D. Tombs, Approaches to New Testament Study (Sheffield: Sheffield Ac. Press, 1995)
[7] Ibid., hlm. 154-155
[8] Stamps, Op. Cit., hlm. 138; dalam menentukan langkah-langkah ini, Stamps mengutip G.A. Kennedy, New Testament Interpretation through Rhetorical Criticism (North Carolina: University of North Carolina Press, 1984) dan D.F. Watson, Invention, Arrangement, and Style: Rhetorical Criticism of Jude and 2 Peter (Atlanta: Scholar Press, 1988)
[9] Didirikan oleh Epukuros (341 sM). Mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, maka diperlukan sikap yang tenang, membuang segala ketakutan dan yakin bahwa para ilah akan campur tangan dalam hidup ini. Mereka tidak mempercayai adanya kebangkitan sesudah kematian. J.D. Douglas, dkk. (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I (Jakarta: YKBK/OMF, 1995) hlm. 282-283    
[10] Didirikan oleh Zeno (335-263 sM). Mengajarkan bahwa dalam mencapai kebahagiaan hidup, maka seseorang harus mencari hal-hal yang cocok dengan tempatnya dalam tatanan alam semesta, dengan melakukan kebajikan yang tulus ikhlas. Douglas, dkk. (ed.), Op.Cit. jilid II hlm.420   
[11] Martin Harun, ‘Melintasi Batas-Batas Budaya dan Agama’ dalam Forum Biblika No. 15 tahun 1999 hlm. 38

Renungan Untuk Para Ayah: BERSIKAP SEBAGAI AYAH

 BACAAN: KEJADIAN 34

                Dapatkah kita membayangkan perasaan Yakub ketika diperhadapkan pada persoalan pelik dan sulit seperti kisah dalam Kejadian 34 ini? Beberapa masalah yang mendera Yakub sebagai kepala keluarga dalam bagian ini adalah:
Pertama, Dina, anaknya yang perempuan, dibawa lari dan diperkosa oleh Sikhem, seorang yang tidak seagama dengan keluarga Yakub.
Kedua, ketika mengurus perkawinan anaknya itu oleh karena mereka bersedia megikuti ketentuan agama Yakub, dua anak laki-lakinya yakni Semeon dan Lewi  mengambil tindakan tanpa sepengetahuannya, yaitu membunuh semua laki-laki di Hewi.
Ketiga, Yakub diperhadapkan dengan permusuhan oleh orang-orang sekitar mereka yang mendengar perilaku kedua anaknya.
Jika hal ini terjadi atas kita, apa yang akan kita lakukan sebagai seorang ayah bagi anak-anak?
                Mari kita perhatikan sikap Yakub dalam menghadapi persoalan yang menimpanya.  
Ketika Yakub mendengar Dina diperkosa, Yakub memilih diam dan menunggu anak-anaknya pulang. Sebelum anak-anaknya pulang, Hemor, ayah Sikhem, datang kepada Yakub untuk membicarakan mahar pernikahan dan segala ketentuan yang bersangkut paut dengan adat istiadat. Artinya, Hemor meminang Dina untuk Sikhem dan bersedia memenuhi segala tuntutan adat menurut Yakub. Bahkan, Hemor bersedia mengikuti ketentuan agama dari Yakub. Melihat jalan ceritanya, agaknya Yakub akan menerima pinangan tersebut. Tentu saja ini penting untuk menyelamatkan muka Dina sebagai seorang perempuan dan kehormatan keluarganya. Ketika pinangan sementara terlaksana, anak-anak Yakub pulang dan mengetahui peristiwa yang terjadi dengan Dina, merekapun menjadi sakit hati dan marah.
Kemudian pinangan diterima. Tapi dari sudut pandang yang berbeda. Yakub dan Hemor punya cara pandang yang sama, yakni sebagai orang tua anak perempuan dan laki-laki, mereka harus memikirkan masa depan anak-anak mereka yang telah salah jalan. Sudut pandang anak-anak Yakub berbeda, mereka menerima pinangan dengan melakukan ketentuan adat, yakni disunat. Ternyata ini hanya tipu muslihat saja. Tidak disebutkan dalam bacaan ini, apakah Yakub mengetahui tipu muslihat anak-anaknya.
Singkat cerita, disunatlah semua laki-laki orang Hewi atas perintah Hemor dan Sikhem. Ketika mereka kesakitan sehabis disunat, Simeon dan Lewi datang dan membunuh semua laki-laki Hewi. Kemudian saudara-saudara yang lain datang dan merampas harta benda termasuk perempuan dan anak-anak. Agaknya perilaku anak-anaknya ini diketahui oleh Yakub. Namun Yakub tidak berbuat banyak. Bahkan cenderung diam dan membiarkan anak-anaknya berbuat senekad itu.
Sikap “diam” dari Yakub ini merupakan sikap sebagian besar laki-laki. Ketika menghadapi suatu masalah apalagi yang dapat mengganggu ketentramannya, para laki-laki cenderung diam. Dunia psikologi mengungkapkan bahwa laki-laki cenderung diam jika bertemu dengan luka hati, perasaan tertekan, dan segala sesuatu yang mempertanyakan kejantanan mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa laki-laki sulit sekali menceritakan perasaannya kepada orang lain. Ia lebih memilih diam dan tidak akan pernah menangis.
Mengapa diam? Jawaban yang paling sederhana adalah karena kita takut. Kita takut kelemahan kita terungkap, kita takut jangan-jangan kita gagal dalam melaksanakan sesuatu hal atau kita takut keputusan yang kita ambil akan berakibat fatal. Kita takut jika pada akhirnya kita menjadi tidak berdaya. Artinya, kita takut kehilangan “kejantanan” kita di hadapan orang lain atau orang-orang terdekat kita.
Lantas, apa yang kita butuhkan sebagai seorang laki-laki? Jawabannya sederhana, berbagi perasaan dengan orang lain. Yakub memilih diam dan baru bersuara ketika masalah menjadi lebih besar. Bagusnya, ia berbicara terlebih dahulu dengan anak-anaknya untuk memikirkan masa depan keluarga mereka dalam hubungan dengan orang-orang yang berasal dari suku atau agama lain. Hendaknya kita juga belajar dari sikap diam Yakub, yang ternyata menimbulkan persoalan yang lebih besar lagi. Dibutuhkan kepekaan diri untuk terbuka kepada orang lain, menceritakan perasaan-perasaan dan kekuatiran-kekuatiran kita. Terbuka bukan hanya kepada istri tapi juga kepada anak-anak. Ini penting agar supaya mereka bisa tahu bagaimana perasaan kita, bagaimana kekuatiran kita untuk masa depan keluarga dan sebagainya. Supaya, sebagai seorang ayah, kita berwibawa bukan karena kita menjaga wibawa, tetapi karena kita membagi wibawa itu bersama mereka.

Renungan Tokoh Alkitab Bagi Pria: AKHAN DAN KEINGINAN HATINYA

BACAAN: Yosua 7:10-15
                Perikop Yosua 7 ini mengisahkan tentang kekalahan bangsa Israel ketika mereka berperang melawan bangsa Ai. Penyebabnya nampak sangat sederhana tetapi ternyata menyebabkan suatu musibah yang besar. Ibarat nila setitik merusak susu sebelanga. Karena dosa Akhan maka kalahlah bangsa Israel melawan Ai yang menyebabkan tiga puluh enam orang tewas dan Israel lari terbirit-birit. Mereka tidak menyangka akan kalah secara memalukan dari suatu bangsa yang kalah jauh jumlahnya dari mereka.
Sebenarnya siapa Akhan?
Dia adalah seorang yang berasal dari suku Yehuda. Kakek buyutnya, yakni Zerah merupakan saudara kembar Peres, anak-anak dari Yehuda dan Tamar. Melihat sejarah keluarga ini, tidak pernah mereka tersangkut kasus-kasus pidana korupsi. Tidak ada riwayat seperti itu. Bahkan dapat dikatakan pula bahwa menilik dari sisi ekonomi, keturunan Yehuda merupakan keturunan yang dapat dikatakan tidak kaya dan tidak juga miskin. Maksudnya adalah berada dalam kalangan ekonomi menengah.
Ternyata yang terjadi adalah Akhan mengambil atau menjarah barang yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Barang-barang itu adalah jubah indah, 200 syikal perak dan 50 syikal emas. Kalau dirata-ratakan dalam situasi kita bahwa satu syikal berjumlah 11,4 gram, maka itu berarti: 1) perak yang diambil sejumlah 2.280 gram atau sama dengan 2,28 kilogram, dan: 2) emas yang diambil senilai 570 gram atau sama dengan emas 0,57 kilogram. Jika diuangkan maka perak yang kira-kira harganya Rp. 200.000,-/gramnya menjadi Rp. 456.000.000 (empat ratus lima puluh enam juta rupiah); sedangkan emas yang diambil jika yang harganya Rp. 350.000,-/gram menjadi Rp. 199.500.000 (seratus Sembilan puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah). Total semua yang diambil di luar pakaian indah itu adalah Rp. 655.500.000 (enam ratus lima puluh lima juta lima ratus ribu rupiah). Ini suatu jumlah yang masih terhitung kecil dibanding uang yang dikorupsi oleh Gayus Tambunan. Jika membandingkan hukuman yang diterima, maka hukuman Akhan setara dengan hukuman untuk para teroris, yakni hukuman mati.
Mengapa sampai Tuhan berbuat demikian? Masalah utamanya sebenarnya bukanlah terletak pada nilai uang tersebut. Tapi terletak pada hal yang paling mendasar dari seseorang, seperti Akhan, yakni keinginan. Kata yang sama digunakan juga dalam kitab Kejadian, ketika Hawa menginginkan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat.   
Ini penting sebab kecenderungan manusia adalah “selalu ingin”; ingin ini dan ingin itu: diberi kaki, ingin sepeda; diberi sepeda, ingin motor; diberi motor, ingin mobil; diberi mobil, ingin pesawat; dan seterusnya. Oleh karena “selalu ingin” maka manusia selalu berupaya mengejar dan mencari apa yang diingininya. Entahkah dengan cara yang baik atau pun tidak baik. Seorang yang berlomba untuk memiliki ini dan itu, karena keinginan. Seorang pria yang bekerja dengan memeras tenaga, itu karena keinginan. Seorang yang mencuri, itu karena keinginannya; seorang yang berselingkuh, itu karena keinginannya. Betapa penting dan sekaligus berbahayanya keinginan itu.
Apa yang salah dengan keinginan? Tidak ada. Yang sebenarnya Tuhan mau dalam hidup manusia adalah agar umat-Nya tahu mengekang keinginannya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila Tuhan juga mengatur manusia melalui hukum-Nya yang ke sepuluh: jangan mengingini.
Peristiwa Akhan menjadi tanda awas bagi kita, agar supaya kita tidak main-main dengan “keinginan” itu. Sebagai kepala keluarga, suami, ayah, kakek, paman dan apapun jabatan kita, kita diharapkan dapat memimpin baik diri kita maupun keluarga. Memimpin agar keinginan kita, keinginan istri, keinginan anak, keinginan cucu, keinginan keponakan, - itu dapat terkontrol. Supaya pula keinginan yang tidak terkontrol itu tidak menyebabkan kita menjadi berdosa sehingga menimbulkan kekejian bagi Tuhan.